Pro Kontra Syarat Moral di Pilkada

Ada yang menarik dari Rencana Penambahan Persyaratan Calon Kepala Daerah oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Di antara rencana tambahan persyaratan UU No. 32/2004 itu, ada persyaratan bahwa calon harus tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

Syarat ini kemudian dijelaskan oleh menteri Gamawan Fauzi. "Kandidat tidak boleh cacat. Apa nama istilahnya? Cacat moril. Antara lain terjemahannya, orang yang sudah berzina tidak boleh menjadi bupati," kata Gamawan. Begitu juga kalau ada foto pornonya, maka itu cacat moral. Mendagri menyebut, misalnya ada video berzina, itu sudah tidak boleh, harus dibatalkan oleh KPU.

Jika tambahan persyaratan ini berlaku, maka mereka yang dikenal publik dengan sosok erotis, pornografer, pernah terpublikasi kasus selingkuh dan sejenisnya akan gagal masuk bursa calon di pilkada.

Tambahan persyaratan yang diajukan Kementerian Dalam Negeri ini, ternyata mengundang kontra oleh banyak pihak. Di antaranya, anggota Komisi II DPR dari FPDIP, Arif Wibowo.

"Wacana Mendagri reaktif," ujar Arif Wibowo di Gedung DPR, Jakarta.

Menurut dia, terminologi zina juga masih sumir, karena yang dirugikan adalah perempuan. Statemen, kontroversi, formalisasi nilai-nilai agama menurut dia adalah wilayah privasi yang tidak perlu diatur.

"Kita musti tegakkan ini negara nasional. Moralitas pasti menjadi pertimbangan partai. Perbuatan tercela sumir, yang paling konkret ya korupsi," kata dia.

Begitu pun dari Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim. Menurutnya, secara subjektif, hak politik itu tidak terbatas. Siapa pun boleh saja mencalonkan diri untuk dipilih menjadi kepala daerah. "Secara subjektif hak politik tidak perlu diatur. Sebagai bentuk hak subjektif tidak apa Jupe (Julia Perez) dan Maria Eva mencalonkan diri," imbuhnya.

Namun, Ifdhal menambahkan bahwa hak politik subjektif itu tetap harus dibatasi dengan syarat-syarat objektif. Seperti pendidikan, syarat umur, dan kemampuan bertanggung jawab.

Penolakan juga disapaikan Cetro. Menurut Direktur Cetro, Hadar Nafis Gumay, jika Kementrian Dalam Negeri berencana menambah persyaratan calon kepala daerah, jangan menambah persyaratan yang tidak perlu.

“Jangan sampai persyaratan yang sulit diukur, dan bahkan akan menimbulkan diskriminasi,” ujar Hadar. Menurutnya, yang perlu diupayakan dalam proses pencalonan dalam parpol adalah demokratis, transparan, dan partisipatif. Tak lupa menciptakan kampanye yang membuka ruang luas dapat diketahui siapa sesungguhnya para calon. “Dan lakukan pendidikan pemilih berkualitas,” ujarnya.

Pendapat untuk meluruskan persyaratan itu pun disampaikan anggota Komisi II dari Fraksi PKS, Mahfudz Siddik.

Mahfudz menilai, usulan Mendagri soal syarat moral sebenarnya baik- baik saja untuk dituangkan dalam undang-undang pemerintahan daerah. Namun, jangan sampai bertabrakan dengan prinsip kebebasan hukum tiap warga negara dan jangan sampai ada multitafsir.

"Kalau orang salah, Tuhan saja memaafkan. Kalau memadai (menjadi pimpinan daerah) kenapa tidak," ujar Mahfudz Siddik di Gedung DPR.

Pendapat kontra pun muncul dari pengamat sosial dari UIN Jakarta, Nanang Tahqiq MA. “Artis macam Julia Perez, Maria Eva dan sejenisnya bakal dikandaskan melalui persyaratan Pilkada yang antipornografi itu. Adakah ini isyarat bahwa Kementrian Dalam Negeri sebagai polisi moral? Bisa jadi demikian,” jelas Nanang.

Menurut jebolan McGill University Kanada itu, peraturan Mendagri seakan dijiwai syariah Islam. “Ada yang curiga kita jadi seperti Iran, polisi moral di mana-mana,” papar Nanang yang juga dosen di Universitas Paramadina.

Dukungan justru muncul dari sejumlah elemen perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Pacitan (APP). Mereka mendukung larangan pencalonan diri seorang pezina dalam Pilkada sebagaimana dilontarkan Mendagri Gamawan Fauzi.

"APP sangat mendukung kebijakan itu, jika benar-benar diterapkan. Harus ada batasan yang jelas agar tidak begitu saja orang yang sebenarnya tidak memiliki kualifikasi, tapi dicalonkan sebagai kepala daerah," kata Ketua APP Ririn Subiyanti di Pacitan, Jawa Timur. m/inilah

***
Redaksi mengundang pembaca untuk menyampaikan masukan pada edisi Dialog ini. Semoga masukan pembaca bermanfaat untuk kita semua.