Perang Suriah – A Waiting Game

Islamic  Research on International Studies/IRIS  – Ternyata perlu waktu setahun lebih bagi bangsa Indonesia untuk sedikit membuka mata terhadap krisis kemanusiaan yang terjadi di Suriah. Badai politik yang berujung tragedi kemanusiaan di tanah Syam itu baru (agak) santer diberitakan media Indonesia setelah insiden mengerikan di Haula. Lebih dari 130 orang—tak peduli wanita dan anak-anak—terbantai hanya dalam waktu sehari. Tak ada yang bertanggungjawab. Masing-masing cuci tangan, termasuk pemerintah Asad yang selama ini dituding bertanggung jawab atas jatuhnya puluhan ribu korban rakyat Suriah sejak Januari 2011 silam.

Insiden itu pun semakin membuat dunia mengecam rezim Bashar Asad. Beberapa negara seperti Prancis, Jerman dan Inggris menyuruh Dubes Suriah di negara mereka untuk angkat kaki. Tekanan untuk bertindak serupa pun menguat di Indonesia. Kekhawatiran nasib WNI di Suriah pun semakin menggelisahkan. Rabu, 13 Juni 2012 Migrant Care menggelar konferensi pers mendesak pemerintah untuk memulangkan semua TKI dari Suriah. Dalam acara tersebut, seorang ibu menceritakan ihwal  anaknya, yang meminta dirinya melakukan apa saja untuk memulangkan dirinya dari Damaskus.

Pertanyaannya, mengapa dunia begitu lamban mereaksi tragedi kemanusiaan di Suriah? Barat yang biasanya rajin campur tangan—dengan alasan sebagai Polisi Dunia—terkesan menjadi macan ompong di meja-meja diplomasi. Padahal, respon NATO begitu cepat ketika Libia bergolak, membuat rezim Moammar Gadhafi berakhir dalam waktu relative singkat. Bahkan lebih singkat dari rezim Saddam Hussein di Iraq. Demikian respon negara-negara Arab. Padahal, selain isu kemanusiaan, secara ideologi mereka seharusnya juga resah dengan dukungan Syiah Iran terhadap rezim Nushariyah pimpinan Asad yang terus melahap korban kaum Sunni.

Tampaknya, yang saat ini dilakukan dunia adalah saling menunggu ke mana konflik ini akan mengarah. Ada dua kekuatan besar yang sangat berkepentingan terhadap konflik Suriah ini, yaitu blok Barat, terdiri dari Amerika dan Eropa; dan blok Timur yang diwakili Iran, Rusia dan Cina. Barat berkepentingan melindungi Israel—di mana Suriah berbatasan langsung dengan negara Zionis itu. Selain ingin memutus jalur suplai Iran-Lebanon (Hizbullah) via Suriah, di mata Barat bila Suriah jatuh ke tangan jihadis berarti kiamat bagi Israel.

Sementara, blok Timur—minus Iran—harus berpikir ulang untuk terang-terangan mensuplai Bashar. Mereka harus mengitung masak-masak nilai politis Bashar yang—dengan segenap tindakan represifnya—tidak lagi mendapatkan legitimasi dari rakyatnya. Terang-terangan membantu Bashar berarti mengumumkan perang melawan rakyat Suriah. Padahal,  bersama di antara rakyat Suriah telah berselip kelompok jihadis. Meski jumlahnya sangat kecil untuk memberikan pengaruh, rentang waktu setahun ditambah kesamaan ideology—Sunni—akan memberikan ruang lebih luas bagi jihadis untuk merembes dan menyatu dalam perlawanan rakyat.

Intinya, masing-masing pihak saling menunggu sampai Bashar jatuh. Mereka tidak ingin turun hari ini, karena khawatir dituding sebagai penyebab dampak negatif pasca jatuhnya Bashar. Dan, dampak negatif di mata kedua blok itu sama: tumbuh dan berkembangnya kelompok jihadis di Suriah, yang mengakibatkan kiamat bagi Israel dan gangguan stabilitas keamanan di wilayah Muslim yang hari ini berada dalam kontrol Rusia dan Cina.

Suriah adalah hot-spot yang hari ini memiliki pengaruh signifikan. Selain soal geografis dan ideologis, peralatan canggih militer Bashar—berupa rudal jelajah jarak jauh, bahkan kabarnya juga senjata biologis—menjadi perhatian serius pihak yang berkepentingan, agar jangan sampai jatuh ke tangan jihadis seperti Al-Qaidah.

Tikaman Saudi

Di luar sikap tunggu dan hanya mau ambil untung yang dimainkan Barat dan Timur, harapan seharusnya patut disandarkan kepada pemerintah negara-negara Islam di Timur Tengah. Sebab, negara-negara non-Sy’iah—terutama Saudi yang sering menjadi symbol kaum Sunni—merasa gerah dengan ekspansi Iran yang hari ini menyokong penuh Bashar. Faktanya, sikap negara-negara tersebut setali tiga uang. Mereka tetap berhitung terhadap kemungkinan Al-Qaidah yang memboncengi gerakan anti Bashar.

Bahkan kecaman langsung pemerintah Saudi terhadap Bashar terkesan hanya lip-service sekaligus gendang yang mengiringi kunjungan Menlu AS, Hillary Clinton ke negara itu. Clinton dalam kunjungan tersebut mengecam Suriah, lalu Saudi pun mengikutinya. Tak ada upaya kongkrit dalam membantu rakyat Suriah, yang mayoritas Sunni, dari kekejaman Bashar. Bahkan, usai memberikan kecaman lisan, amal nyata Saudi pun tak berubah dari sebelumnya: paranoid terhadap jihadis.

Sebut saja, misalnya ulama besar Saudi, Syaikh Muhammad Al-Uraifi. Track-record Al-Uraifi selama ini cukup “bersih,” tak terindikasi terkait jaringan militan. Dalam tragedi Suriah ini, Al-Uraifi cukup aktif mengkampanyekan bantuan kongkrit bagi rakyat Suriah, termasuk dukungan gerakan bersenjata melawan Bashar. Saat dipanggil pihak keamanan Saudi terkait aksinya, Al-Uraifi menegaskan harus ada langkah kongkrit mensikapi Suriah, bukan sekadar gertak mulut. Dalam perkembangan terakhir, 4 hari sebelum tulisan ini dibuat, Saudi menjebloskan ulama asal Suriah itu ke dalam penjara.

Bahkan, sekadar mengucapkan bela sungkawa terhadap keluarga korban pun dilarang. Seperti setelah terjadi pembantaian di Haula, banyang orang mendatangi komunitas asal Haula di Saudi untuk sekadar membagi rasa duka. Namun, pihak keamanan Saudi buru-buru membubarkan dan menekan komunitas Haula untuk tutup rumah rapat-rapat.

Perbandingan sikap Saudi—sebagai representasi Sunni—dengan Iran—sebagai symbol Syi’ah—dalam kasus Suriah, ibarat membandingkan langit dan tanah. Bila Saudi terkesan hanya lip-service bahkan menutup semua pintu dukungan kongkrit warga Saudi bagi rakyat Suriah, sikap Iran sungguh “gentle” dan berbeda. Selain suplay senjata yang dikirim langsung lewat pesawat komersil dengan rute Teheran-Baghdad-Damaskus, Ahmadinejad menyatakan keberpihakannya di pihak Ashad untuk memerangi—apa yang disebutnya sebagai—teroris. Ditambah Ahmad Khattimi¸seorang mufti Syi’ah Iran terang-terangan menyatakan bahwa pemerintahan Bashar Ashad adalan bagian dari rukun iman. Nah!

Sikap menunggu dan hanya mau untung yang diperankan dunia internasional akan membawa dampak berlarutnya kasus Suriah ini. Korbannya adalah rakyat Suriah. Akan semakin banyak nyawa melayang karena tak ada yang bertindak kongkrit menghentikan buldoser-buldoser pencabut nyawa yang dikendalikan Bashar. Tanpa maksud bersorak di atas duka rakyat Suriah, jumlah korban yang terus membesar membuktikan Suriah adalah medan laga ideologi. Sebab, salah satu ciri pertarungan ideology adalah tuntutan akan pengorbanan yang besar. Hasbunallah wa nikmal wakil.