Februari 1949, Mengenang Kisah Syahidnya Imam Hasan Al-Banna

Dokter akhirnya datang dan menyuruh perawat melepaskan baju Hasan Al-Banna, namun dengan segala sisa tenaga, beliau cepat bangkit dari atas kasur dan membuka bajunya sendiri. Bukan segera menolong, dokter malah menanyakan hal-hal yang sifatnya administratif seperti nama dan alamat. Hasan Al-Banna langsung berteriak, “Cepat obati Ustadz Abdul Karim! Beliau kondisinya sangat serius!”

Kemudian datang lagi Brigjen Muhammad Washfy untuk yang kedua kalinya. Ia bertanya pada dokter, “Bagaimana kondisi Hasan Al-Banna?.”Dokter menjawab kondisinya tidak terlalu serius.

Setelah itu, dalam batas kesadaran, Hasan Al-Banna mengetahui jika dirinya dipisah ruangan dengan Ustadz Abdul Karim. Mereka meletakkan  Ustadz Abdul Karim dalam sebuah kamar yang di dalamnya sudah terdapat satu pasien, dan Hasan Al-Banna di kamar satunya lagi.

Entah apa yang selanjutnya terjadi. Yang jelas, Brigjen Muhammad Washfy memang diutus pemerintah untuk memastikan kematian Hasan Al-Banna. Dokter tidak diijinkan melakukan pengobatan dan membiarkan darah Hasan Al-Banna mengucur habis. Akhirnya, ruh sucinya naik kepada Sang Pencipta, mengadukan semua kezhaliman para taghut.

Kezaliman pemerintah tak sampai disitu saja. Ketika Hasan Al-Banna meninggal, mereka juga tidak mau menyerahkan jasad Al Banna kepada ayahnya, kecuali setelah dia berjanji menguburnya sendiri tanpa menghadirkan siapa pun. Sang ayah yang sudah renta, berusia di atas 90 tahun itu, seorang diri memandikan dan mengkafani anaknya yang syahid. Polisi melarang jasad Al Banna dibawa laki-laki. Maka kemudian jasad sang syahid dibawa oleh empat perempuan yang berjalan dengan kepungan barisan tank dan ratusan polisi dan tentara. Dengan cara seperti inilah akhirnya tokoh pembaru Islam abad 20 dikebumikan. Sungguh, jangan lupakan sejarah, Sejarah masa lalu akan berulang kembali di masa kini. [rd/eramuslim]