Cium Tangan Orang Tua dan Ustadz, Adakah Dianjurkan?

Assalamu’alaykum Wr. Wb.

Bismillah. Saya terbiasa dari kecil selalu mencium tangan kedua orang tua saat berjumpa, baik ketika keluar rumah maupun kembali ke rumah. Nah, yang ingin saya tanyakan adalah: Bagaimana Islam menyikapi cium tangan tersebut? Jika saya lakukan kepada guru saya atau ustadz saya, dan tentunya guru atau ustadz saya itu adalah laki-laki. Apakah ada hadist yang menganjurkan atau melarang? Demikian pertanyaan saya ustadz. Sebelumnnya jazakumullah khair.

Wassalamu’alaykum Wr. Wb.

Tito Prabowo

Assalamu `alaikum Warahmatullahi wabarakatuh,

Cium tangan kepada orang tua atau orang yang kita hormati tidak kami dapatkan perintahnya secara khusus dalam bab-bab fiqih maupun akhlaq yang bersifat tasyri`. Sehingga bila dilihat sharih perintahnya, bukanlah sesuatu yang bersifat wajib, sunnah atau hukum yang lainnya.

Bentuk mencium tangan atau memeluk/berangkulan adalah merupakan `urf/ kebiasaan yang berlaku di dalam suatu budaya atau tata nilai masyarakat tertentu.

Hukumnya berbeda dengan mushafahah (berjabat tangan) yang memang mengandung unsur tasyri` (pensyariatan). Namun meski tidak terkandung hukum tasyri` secara langsung, bukan berarti harus ditinggalkan atau dilarang. Karena Islam sendiri mengakui dan bahkan sering mengaitkan antara `urf dengan syariat. Tentu saja selama `urf itu tidak bertentangan dengan asas syariat itu sendiri. Sebagai contoh, bila seorang suami berkata kepada istrinya, ”Kembalilah ke rumah orang tuamu”.

Secara syariat, konsekuensinya masih menggantung pada `urf atau kebiasaan yang berlaku di negeri itu. Apakah ucapan itu secara `urf diartikan sebagai talaq atau tidak? Bila `urf mengakui itu adalah talaq, maka jatuhlah talaq. Sebaliknya bila `urf tidak mengakui sebagai talaq, maka tidak jatuh talaqnya.

Sehingga kita mengenal sebuah kaidah yang berbunyi:"Al-`Aadatu Muhakkamah”. Sebuah adat atau tradisi itu bisa dijadikan dasar hukum. Tentu saja adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri.

Kaidah ini tidak bisa diterapkan pada masalah memberi sesajen kepada penghuni makam keramat pada malam jumat kliwon, dengan alasan bahwa itu adalah adat. Adat seperti itu adalah adat yang batil, kufur, syirik dan mungkar yang harus dibasmi. Adat yang dimaksud adalah sebuah kebiasaan yang disepakati bersama oleh masyarakat sebagai suatu konvensi atau kesepakatan tidak tertulis, namun memiliki kekuatan hukum.

Biasanya adat seperti ini lebih banyak terkait dengan tata nilai, etika, estetika suatu masyarakat. Sebagai contoh, memegang jenggot orang lain buat adat kita di Melayu termasuk tidak sopan. Tetapi di Timur Tengah orang yang dipegang-pegang jenggotnya merasa bangga dan terhormat.

Di Indonesia, jangan sekali-kali kita memegang kepala/ubun-ubun orang lain, tapi di Timur Tengah justru merupakan perbuatan yang baik. Ini adalah perbedaan `urf antara dua budaya. Jangan sampai kita salah menerapkan tata nilai dan sopan santun. Istilah yang kita kenal adalah, ”Masuk kandang kambing mengembik dan masuk kandang kerbau melenguh”.

`Urf di negeri kita adalah mencium tangan orang tua dan orang-orang yang terhormat lainnya seperti kakek, paman, mertua bahkan termasuk kiyai, ulama dan lainnya.

Bila hal itu kita lakukan sebagai bentuk penghormatan dan pengejawantahan dari menyesuaikan diri dengan `urf yang dikenal masyarakat, maka hal itu baik, karena menunjukkan bahwa kita memiliki tata etika dan sopan santun yang sesuai dengan metode masyarakat. Jadi mencium tangan orang tua dan seterusnya memang bukan tasyri` secara langsung, namun mausk dalam bab sopan santun dan akhlaq bergaul dengan orang tua dan menjalankan `urf yang baik.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.