Untuk Perjuangan Yang Tak Kenal Usai

BismiLLAH

Airmata itu jatuh dari ujung mata. Menggulung debu bagai ombak, membasahi bibir pantai yang putih bersih. Deru angin itu membawa berita duka. Ada awan-awan hitam yang hadir untuk sebuah gerimis di ujung senja. Gerimis yang menggetirkan hati dan jiwa dalam ketidakberdayaan kita sebagai manusia. Manusia lemah yang penuh keterbatasan, yang tak akan mampu berbuat tanpa izin dan ketetapanNYA.

Beranjak senyawa batin menuju sebuah negeri pesisir. Disana ada anak-anak kecil yang bermain dalam reruntuhan puing. Sekolah mereka penuh debu, rumah-rumah mereka rata dengan tanah. Namun masih ada senyum di wajah mereka. Masih ada semangat di hati mereka yang tetap menyala. Semangat mereka tak pernah padam selama ada nafas untuk berjuang. Ketika ketidakadilan itu begitu nyata di mata mereka, dan kerusakan itu begitu pekatnya hingga terlalu legam untuk mereka sinari dengan sebuah pelita. Sebuah masa dimana mata ini akan perih karena kenyataan tak seindah yang mereka impikan sebagai seorang anak yang terlahir di bumiNYA.

Maka ketika armada kebebasan itu hadir dengan segala daya upaya yang semata-mata untuk mencari keridhaan sebagai hambaNYA yang memiliki nurani manusia untuk memanusiakan manusia lainnya. Walau tantangan kematian menanti mereka, walau sekumpulan manusia berhati serigala sudah siap menerkam dan membunuh mereka. Namun semua itu tidak menambah gentar usaha mereka. Mereka tidak mundur bahkan hanya untuk selangkah. Tujuan itu seolah terlihat jelas di mata mereka. Keindahan itu telah hadir menyibak tabir fana, menggantinya dengan resonansi jannah yang akan menggetarkan hati siapapun yang mengenang mereka sebagai pejuang-pejuangNYA.

(Yaitu) orang-orang (yang mentaati ALLAH dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah ALLAH menjadi Penolong kami dan ALLAH adalah sebaik-baik Pelindung". Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari ALLAH, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan ALLAH. Dan ALLAH mempunyai karunia yang besar. QS.3:173-174

Berulang-ulang ayat ini menderu qalbu. Tak dapat kutahan airmata yang kian deras mengalir. Perasaan ini, hati ini, nurani ini bergetar hebat. Mampukah jiwa ini berdiri kokoh dalam ketaqwaan kepadaNYA? Mampukah kita istiqamah dan pantang memundurkan langkah? Mampukah kita seperti hamba-hambaNYA dalam armada kebebasan yang tak mengenal menyerah? Bukankah tidak ada yang sia-sia jika semua ini hanya untukNYA Yang Maha Pemurah?

Diri ini terpaku dalam diam. Membisu dalam warna angin yang hitam. Dengan berbagai alasan agar tak perlu berbuat secuil manfaat untuk saudara-saudara kami. Agar tetap pada kehidupan sendiri dan tak peduli dengan yang lain. Agar tak repot untuk turun kejalan dan menyebarkan seruan aksi. Agar tak perlu infaqan sebagian rezeqi karena tidak perlu peduli. Agar tak perlu berdiri bersama karena berbeda manhaj dan haroki. Dan masih banyak alasan-alasan bahkan berjuta alasan agar ummat tetap terlelap dalam tidur panjangnya. Lalu kau sebut dirimu sebagai muslim? Tak malukah kau menyandang gelar mulia itu? AstaghfiruLLAH…bangunlah kawan…bangun !!!

Gaza, disana kau bertabur luka namun masih ada cita. Keyakinanmu akan pertolonganNYA yang dekat telah meluluhlantakan semua siksa dunia, menggantinya dengan senyuman terindah yang kau punya layaknya mentari dhuha yang kan coba tuk selalu hadir menyibak asap-asap hitam yang membahana. Jauh kudisini yang masih tak mampu berikan apa-apa. Hanya doa, doa, doa, batu dan airmata. Doa yang kutitipkan kepada ALLAH Yang Maha Mendengar Maha Melihat. Batu perlawanan yang kan kulemparkan bersama keterbatasan diri ini. Dan airmata sebagai penutup sepertiga malam yang sunyi bersama pekat malam dalam bait-bait doa kepadaNYA.

Gaza, kau tak membutuhkanku. Diriku terlalu kerdil untuk medan perang seluas mata memandang itu. Diriku terlalu naif untuk berteriak lantang dan menunggu hingga luka itu datang. Tak ada konsistensi dalam memperjuangkan kalimatNYA ditanah itu. Dan itulah yang membuatku malu. Bukan padamu gaza, tetapi kepadaNYA. DIAlah Pemilik Semesta Raya ini. Jika DIA mau, hanya sekejap maka musuh-musuhNYA akan sirna. Namun, semua berjalan sesuai kehendakNYA. Dari titik ini, aku memahaminya bahwa semua ini hanya untuk melihat siapa diantara kita semua yang bersungguh-sungguh di jalanNYA. Siapa diantara kita semua yang terbaik amalnya.

Gaza, keterbatasan diriku yang berulang kali kujadikan alasan untuk tameng agar tak perlu totalitas dalam memperjuangkanmu, maafkanlah…maafkanlah saudaraku! Inilah akhir tulisanku, namun bukan akhir perjuanganku. Semoga ALLAH mengampuni hambaNYA yang lemah ini. Yang tak mampu berbuat apa-apa ketika saudara kecilku harus merasakan perihnya peluru. Semoga ALLAH senantiasa mengampuni hambaNYA yang tak lepas dari khilaf salah ini.

ALLAHummanshur ikhwana Mujahidiina wal muslimiina fii filistin, wa mustadh’afiina fii Ghazza (Gaza) ‘alal yahudil ghosibin, wa fii iraq, wa fii afghanistan, Allahummanshur ikhwaananal mujahiduuna fii sabilika fi kulli makaan wa fii kulli zamaan. , . Aamiin Yaa Rabbal ‘Alaamiin.

WaALLAHua’lambishawwab

Aditia A. Pratama