Pelajaran dari Sebuah Reuni

Reuni SD? Rasanya memang agak jarang terdengar. Tetapi itulah yang saya dengar dari teman saya. Baru-baru ini ia mengikuti acara reuni Sekolah Dasar, di salah satu Café di Jakarta. Cukup banyak juga yang hadir. Ada alumni SD tersebut yang sekarang sudah menjadi artis ibu kota.

Reuni ini menjadi menarik, karena sering kali para peserta agak kesulitan untuk saling mengenal. Setelah lebih dari dua puluh tahun berpisah, tentu saja teramat banyak perubahan yang terjadi. Mulai dari bentuk fisik, kebiasaan, hingga status. Jika dulu mereka adalah anak-anak, saat ini mereka umumnya sudah punya anak. Penampilan mereka juga jelas sudah tidak seperti anak SD lagi.

Namun, di samping keunikan tadi, ada satu hal lain yang menurut teman saya juga menarik untuk diceritakan. Teman saya, yang juga aktif dalam berbagai kegiatan keIslaman, terheran-heran menyaksikan betapa ‘akrab’nya sebagian peserta reuni tadi dengan minuman keras. Padahal sebagian besar dari mereka beragama Islam.

Kelihatannya, minuman keras sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka, yang umumnya memang para eksekutif muda. Agama menjadi barang antik, yang hanya dikenakan pada saat-saat tertentu, seperti pernikahan, atau mungkin pemakaman. Selebihnya, agama cukup disimpan rapi, dan dijauhkan dari pergaulan hidup.

Teman tadi beristighfar keheranan, seraya melantunkan syukur yang mendalam di hati. Berbeda dengan yang lain, agama baginya adalah jalan hidup, panduan, peta menuju keselamatan. Teman-teman SD-nya, yang semula terasa asing baginya, kini terasa lebih asing lagi. Ia bersyukur karena menyadari bahwa hidayah hanyalah hak prerogatif Allah, yang diberikan hanya kepada orang yang Dia kehendaki.

Pembaca budiman, reuni memang selalu menarik. Lewat reuni, sesungguhnya banyak pelajaran yang dapat kita bawa pulang untuk memperkaya jiwa.

Lewat reuni, kita diajak untuk mengukur jarak waktu yang tercipta. Dan, sering kali tanpa dikehendaki, kita diajak untuk menatap kembali beragam kenangan yang pernah kita goreskan. Jarak waktu tersebut seperti sesuatu yang gaib. Sesuatu yang tidak mampu kita jangkau, namun toh ia nyata adanya. Sesuatu yang pernah ada, namun tak akan mampu kita ubah. Sesuatu yang hanya dapat kita raih dalam ingatan.

Kita diajak mengajukan satu pertanyaan penting, apakah jejak perjalanan yang kita buat membawa kita kepada hidup yang lebih baik? Apakah jejak tersebut mengarah kepada kedekatan yang lebih denganNya? Apakah kita mampu menggenggam hidayah dengan lebih erat, dan menjadikannya penerang ayunan langkah yang kita tempuh?

Lewat reuni, kita akan mengetahui, bahwa hidayah itu mahal harganya. Tak semua orang bisa menikmatinya. Maka, genggamlah ia lebih erat lagi, laksana harta berharga, yang tak ingin kita lepaskan.

Jika kita sempat merenung, kita akan menyadari betapa dahsyat dampak prilaku kita terhadap kesucian fithrah diri. Begitu jauh langkah yang telah kita tempuh, dan betapa jiwa ini semakin merana akibat polah kita sendiri. Kita terus belajar dan semakin pintar. Kita bekerja dan semakin kaya. Kita semakin mampu tampil dengan gaya pesona dunia. Namun toh kebanyakan kita masih merasa sengsara. Selalu saja ada yang kurang. Bahagia menjadi sesuatu yang jauh di sana, sesuatu yang tertunda.

Pembaca budiman, berdoalah untuk mereka yang masih jauh dari manisnya iman. Walaupun sesungguhnya hidayah adalah hak semua orang, namun tampaknya tidak semua orang menginginkannya. Buat mereka yang seolah jauh dari hidayahNya, sesungguhnya mereka sendirilah yang menampik hidayah tersebut.

Hidayah adalah ibarat cucuran air hujan rahmat. Orang-orang yang menginginkannya, hendaknya mempersiapkan diri untuk menampungnya. Adapun orang yang memang tidak menghendakinya, betapapun banyaknya ceramah di berbagai media, tetap saja tidak akan memperolehnya.

Pembaca yang disayangi Allah. Ada satu hal lain yang dapat kita jadikan pelajaran. Reuni perlu diwaspadai, agar tidak menggelincirkan kita mengukur dan membandingkan diri dengan orang lain pada hal-hal yang semata duniawi. Agar kita tidak salah meletakkan ukuran-ukuran kemuliaan.

Pelajaran lainnya, lewat reuni, kesadaran kita seperti disentakkan, bahwa waktu ternyata berkelebat begitu cepat. Ketika saya menghadiri reuni SMA beberapa bulan yang lalu, saya dikejutkan dengan fakta bahwa tiga belas tahun sudah saya meninggalkan sekolah menengah.

Imajinasi saya menerawang, besok, boleh jadi, tiba-tiba saja usia saya sudah mencapai separuh abad. Jika hari ini saya merasa ‘tiba-tiba’ sudah berusia tiga puluhan, kenapa tidak mungkin saya akan merasa ‘tiba-tiba’ sudah berusia lima puluhan?

Pemikiran ini hanyalah untuk menghela diri agar senantiasa waspada, bahwa waktu tak pernah berhenti berjalan. Setiap jenak yang lewat takkan pernah dapat ditarik kembali. Kewaspadaan ini pada gilirannya akan menghilangkan kebiasaan kita menunda-nunda perbuatan baik.

Waktu kita tak lama. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Atau, meski Allah mengaruniakan kita umur panjang, kebiasaan menunda akan menjebak kita, dan membuat kita terkejut ketika menyadari batas akhir perjalananan kita sudah dekat.

Mungkin, saat Anda membaca tulisan ini, sudah separuh jatah waktu Anda di dunia ini yang Anda habiskan. Jika waktu yang sudah lewat tersebut ternyata hanyalah seolah ‘baru kemarin’, itu berarti waktu yang tersisa sungguh tak lama lagi.

Tak ada waktu untuk menunda kebaikan. Tak waktu untuk menyimpan dendam dan permusuhan. Tak ada waktu untuk menunda tobat dan berlama-lama dengan maksiat.

Hari esok belum tentu ada. Yang pasti hanyalah hari ini. Maka bergegaslah menuju ampunanNya, mumpung kita masih diberi waktu.

Wallahua’lam.

Sabruljamil.multiply.com