Berguru dari Wahyu

Ia lelaki tinggi besar usia 40-an berkulit hitam. Tongkrongannya garang. Maklum, sebagaimana pengakuannya kepadaku, ia bekas preman semasa mudanya. Setelah berkeluarga dan terlebih lagi punya anak tiga, ia insyaf dan memilih pekerjaan yang halal. Meskipun sebagai makelar jasa penerjemahan. Boleh dibilang ia salah satu kolega bisnisku.

Aku tidak tahu siapa nama lengkapnya. Aku memanggilnya Pak Wahyu. Singkat saja. Sesingkat kunjungannya setiapkali ia datang ke kantorku. Ya, kantorku adalah rumahku. Saat itu, sejak sebelum menikah dan masih tinggal bersama orangtuaku, dan hingga kini aku adalah penerjemah freelance, yang khusus menerjemahkan dokumen-dokumen hukum seperti akte notaris dan kontrak bisnis. Sebagai penerjemah yang belum memiliki sertifikat sworn translator atau penerjemah bersumpah, kehadiran Pak Wahyu yang menjadi penghubung antara biro penerjemahan atau perusahaan dengan penerjemah sangat membantuku yang memutuskan terjun bebas sebagai penerjemah freelance selepas bekerja di sebuah griya produksi terkemuka.

Biasanya ia datang siang hari dengan jaket hitam khasnya. Mengetuk pintu dengan ketukan – yang lebih mirip gedoran – berulangkali dan uluk salam, yang kontras dengan posturnya, yang sangat pelan. Alhasil lebih kentara ketukan khasnya yang terdengar. Awalnya kami kaget, bahkan ayahku sempat mengeluh. Tapi lama-lama kami terbiasa dan menjadikan gaya ketukan Pak Wahyu itu sebagai penanda kehadirannya.

Yang tidak aku sukai, jika ia punya waktu luang dan mau ngobrol berlama-lama, adalah kebiasaannya merokok. Di keluargaku saat itu memang hanya ayahku yang perokok. Itu pun dibarengi protes dari anak-anaknya termasuk aku. Beliau pun mengurangi konsumsi rokoknya. Tapi, dengan Pak Wahyu, entah mengapa aku sungkan menegurnya. Faktor hubungan bisnislah yang membatasi. Inilah susahnya.

Namun lebih banyak hal yang aku suka dari sosok Pak Wahyu. Ia jujur. Saking jujurnya bahkan ia tak segan-segan memperlihatkan isi dompetnya jika klien lambat memberikan fee. Atau saat pembayaran kepadaku lewat dari yang ia janjikan.

“Bener, Lam,” ujarnya dengan logat Betawi yang medok,”Belom bayar tuh orang!” Tak jarang ia curhat soal hubungan dengan para kliennya. Ujung-ujungnya, ia berpesan,”Diem-diem aje ye,Lam. Ini elo aja yang tau. Ga enak gue nanti!”

Juga soal keluarganya. Soal anak-anaknya yang mulai masuk kuliah dengan permasalahan biayanya. Hingga istrinya yang turut membantu ekonomi rumah tangga dengan menjadi makelar pengurusan KTP di kelurahan. Aku pun jadi pendengar yang baik. Termasuk untuk cerita-ceritanya betapa ia bekerja gila-gilaan dari pagi hingga sering tengah malam. Tanpa bermaksud rasis, ia sering berujar,”Gue ini orang Betawi, Lam, tapi kerja kayak orang Jawa!” Kepercayaan diri dan optimismenya memang hal lain yang aku sukai.

Tapi yang paling aku sukai adalah saat Pak Wahyu datang tak hanya dengan dokumen yang akan diterjemahkan. Jika di setang motornya tergantung kantong plastik hitam, itu pemandangan yang menyenangkan. Biasanya berupa bingkisan kue-kue jajanan pasar seperti kue cincin, bika ambon dan dadar gulung bikinan istrinya. Patut kuakui istri Pak Wahyu adalah pembuat kue jempolan. Sama seperti almarhumah ibuku.

Hingga, pada Agustus 2006, selepas Subuh aku mendapat kabar bahwa Pak Wahyu meninggal dunia. Langsung dari istrinya sendiri. Padahal sehari sebelumnya ia masih datang ke rumahku untuk membayar terjemahan. Ia juga bilang bahwa hari itu ia bakal pulang malam karena akan menagih piutang honor terjemahan pada klien yang bermasalah.

Tak berapa lama ponselku berdering. Ada telepon dari Pak Mul. Ia mengajak barengan melayat ke rumah Pak Wahyu. Pak Mul adalah pemilik biro penerjemahan, yang juga kolega Pak Wahyu. Aku yang memperkenalkan Pak Wahyu kepada Pak Mul.

“Mas Salam, sudah lama kenal Pak Wahyu?” tanya Pak Mul di belakang kemudi mobilnya. Saat itu kami dalam perjalanan menuju rumah duka.

“Setahun lebih kayaknya,” jawabku sambil merapatkan jaket. Pagi itu dingin dan muram.

“Sudah tahu dong rumahnya,” tukas Pak Mul. Rupanya Pak Mul juga belum mengetahui alamat rumah Pak Wahyu.

Aku tercekat. “Belum pernah ke sana, Pak.” Aku memang tak pernah bertanya tentang alamat rumah kepada Pak Wahyu.

Ketika Pak Mul mengontak istri Pak Wahyu via ponselnya untuk menanyakan alamat, aku terbenam dalam perenungan yang menggelisahkan.

Ternyata, selama setahun lebih berhubungan bisnis dengan Pak Wahyu, aku tidak mengenal betul siapa dirinya. Berkunjung ke rumahnya pun baru sekali itu. Dan justru pada hari kematiannya. Entah mengapa, selama setahun sebelumnya, aku merasa tak perlu mengenal banyak siapa dan apa urusan kolega bisnisku tersebut. Pak Wahyu memang banyak curhat soal keluarganya. Namun aku tak banyak bercerita soal diriku dan keluargaku. Bagiku, hubungan kami adalah business as usual, hanya sebatas bisnis. Tidak lebih.

Padahal tiga bulan sebelumnya saat aku memperkenalkan Pak Wahyu ke Pak Mul, aku dengan yakin mengatakan bahwa aku mengenal Pak Wahyu dan menjamin bahwa ia orang yang dapat diandalkan untuk urusan jasa penerjemahan termasuk mengurus perizinan dokumen-dokumen terjemahan bersumpah ke departemen terkait seperti kantor imigrasi dan departemen kehakiman.

Apakah aku sahabat yang baik bagi Pak Wahyu?

Apakah aku sudah mengenal Pak Wahyu?

Khalifah Umar bin Khattab biasa melakukan investigasi terhadap setiap kandidat pejabat yang akan diangkatnya.

“Dia orang hebat wahai Amirul Mukminin,” ujar salah seorang kenalan kandidat pejabat yang dinominasikan oleh sang khalifah.

Khalifah Umar tidak percaya begitu saja. Ia lantas bertanya,“Apakah kamu pernah bermalam bersamanya?”

“Tidak.”

“Apakah kamu pernah menempuh perjalanan jauh (safar) bersamanya?”

“Belum.”

“Apakah kamu pernah memberinya amanah untuk ditunaikan?”

“Tidak pernah.”

Khalifah Umar bin Khattab kemudian menyimpulkan,”Kalau begitu kamu belum mengenalnya.”

Ya, di pagi muram empat tahun lalu, aku banyak belajar dari Pak Wahyu. Belajar mengenal makna sahabat; belajar tentang silaturahim; belajar tentang kejujuran dan kerja keras, dan belajar tentang semangat dan optimisme.

Peristiwa kematiannya pun mengajarkan satu hal tersendiri. Menurut sang istri, di malam jelang wafatnya, Pak Wahyu pulang larut malam dalam kondisi basah kuyup kehujanan sehabis menagih piutang pada salah satu klien. Jelang Subuh, ia mengeluh pusing dan matanya gelap. Tak lama kemudian Pak Wahyu meninggal dunia. Saat kubuka kain penutup jenazah, senyumnya damai dan wajah hitamnya terlihat lebih cerah berseri. Inna lillahi wa inna ilahi roji’un.

Satu hal itu adalah betapa kematian dapat menjemput kita kapan pun, di mana pun dan dalam kondisi apapun baik didahului sakit atau datang tiba-tiba. Nah, sudahkah kita siap dijemputnya?

Jakarta, 18 Juni 2009
www.nursalam.multiply.com
www.facebook.com/nursalam.ar