yang Dibangun Atas Dasar Iman

Jodoh adalah rahasia Allah. Sebelum menikah, kita tidak mengetahui dengan pasti siapa jodoh yang dikirim Allah untuk kita. Bahkan tatkala detik-detik akad nikah hendak dilangsungkan sekalipun, kita tidak bisa menjamin bahwa nama yang tertulis dalam surat undangan pernikahan adalah jodoh kita. Ia bisa meninggal sebelum akad nikah dilangsungkan (Kisah pada artikel: Keburukan Datang dari Diri Sendiri). Atau ada penghalang yang menjadikan pernikahan itu batal.

Kita bisa mengatakan bahwa ia adalah jodoh yang dikirim Allah untuk kita, manakala akad nikah telah dilangsungkan. Manakala dia telah resmi menjadi pasangan untuk mengaruhi suka dan duka kehidupan yang datang silih berganti. Jodoh tidak selamanya harus “cocok”, sebab boleh jadi kecocokan yang kita kedepankan adalah versi kita, selaku manusia yang banyak memiliki kelemahan.

Sebagai seorang manusia, seorang isteri tentu memiliki sisi positif dan negatif. Demikian pula dengan seorang suami. Sisi-sisi itu semuanya harus dipadukan untuk membentuk kekuatan bukan untuk saling melemahkan. Inilah seninya hidup berumah tangga. Mengelola perbedaan agar menumbuhkan keindahan. Mengkombinasikan persamaan untuk membentuk kekuatan yang lebih besar. Sehingga secara utuh bangunan rumah tangga akan kokoh dan indah. Kekokohan dan keindahan itu demikian memancar sehingga rumah tangga lain untuk tergerak untuk meneladani dan mempelajari rahasia-rahasia keberkahan yang ada pada mereka.

***
Pada zaman khalifah Umar bin Khattab, seorang suami hendak menceraikan isterinya.Pesona kecantikan isterinya telah meredup sehingga ghairah cinta kepadanya pun mulai memudar. Umar memberikan nasehat, “Sungguh jelek niatmu. Apakah sebuah rumah tangga hanya dapat terbina dengan cinta? Di mana takwa dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai pasangan suami isteri, telah saling bercampur dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat?”

Nasehat Umar bin Khattab di atas menegaskan suatu fondasi yang harus dibangun dalam bangunan pernikahan, yaitu cinta kepada Allah bukan cinta kepada hawa nafsu. Sebab cinta kepada Allah akan melahirkan takwa, yang menjadikannya hati-hati mengarungi samudera kehidupan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Cinta kepada Allah melahirkan rasa malu, yaitu malu berbuat maksiat kepada Allah dan malu akan keegoan diri. Dan cinta kepada Allah menjadikan seseorang selalu teringat dan terikat untuk memenuhi janjinya kepada Allah, salah satunya yaitu memperlakukan isteri sesuai dengan hukum Allah sebagai konsekuensi diperbolehkan mencampurinya secara halal.

Sedangkan cinta kepada hawa nafsu akan menghilangkan ruh dari bangunan pernikahan. Kenikmatan pernikahan hanya akan tercipta sepanjang terpenuhinya kebutuhan hawa nafsu, yang secara sunatullah, akan mengalami puncak pemenuhannya kemudian berangsur menurun dan menurun hingga ke titik nadhir dan mengalami kebosanan. Jika hawa nafsu tidak menemukan pemenuhannya, maka ia akan mencari “jalan lain” dengan perselingkuhan. Atau cerai dan nikah lagi, demikian seterusnya. Dan selamanya, tuntutan hawa nafsu itu tidak akan terpuaskan hingga ia berpisah dari jasadnya.

Cinta kepada Allah-lah yang menjaga rumah tangga menjadi rumah tangga yang produktif. Ibarat pohon, ia adalah pohon dengan akar yang kokoh menghujam, cabangnya menjulang ke langit, dan buahnya lezat dan terus berbuah sepanjang musim. Dikatakan bahwa bangunan pernikahan itu adalah setengah dien, sebab dengan membangun rumah tangga maka produktifitas amal kebaikan bisa ditumbuh-suburkan dan ditingkatkan. Rumah tangga adalah sarana untuk menyempurnakan keimanan kepada Allah dan jalan untuk menanam kebaikan di dunia dan mendulang pahala untuk kehidupan akhirat.

Dengan dasar cinta kepada Allah, maka jalan keluar atas permasalahan yang melilit pun diurai dalam bingkai keimanan. Ia tidak menjadi masalah yang ruwet karena dengan keimanan jiwa-jiwa akan menjadi lapang dan tidak terjebak oleh dorongan hawa nafsu yang selalu memprovokasi kepada keretakan rumah tangga.

Ada kisah menarik yang menjadi cerminan saya. Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kisah ini.

Seseorang bermaksud menghadap Umar bin khattab hendak mengadukan perangai buruk isterinya. Sesampai di pintu rumahnya, ia mendengar isteri Umar mengomeli Umar sang khalifah itu, sementara Umar sendiri hanya berdiam saja tanpa memberikan reaksi apa-apa. Di depan pintu rumah Umar itu, ia bergumam, “Kalau keadaan Amirul Mukminin saja begitu, bagaimana halnya dengan aku?” Ia pun beranjak pergi. Namun bersamaan dengan itu Umar keluar. Umar pun memanggilnya, “Ada keperluan penting?”

Ia menjawab, “Ya Amirul Mukminin, kedatanganku ini sebenarnya hendak mengadukan perihal isteriku lantaran suka memarahiku. Tetapi begitu mendengar isterimu sendiri berbuat seperti itu, maka aku bermaksud kembali. Dalam hati aku berkata, kalau keadaan Amirul Mukminin saja begitu, bagaimana halnya dengan diriku.”

Umar berkata, “Saudaraku, sesungguhnya aku rela menanggung perlakuan seperti itu dari isteriku karena adanya beberapa hak yang ada padanya. Ia selalu bertindak sebagai juru masak makananku. Ia selalu membuatkan roti untukku. Ia selalu mencuci pakaian-pakaianku. Ia menyusui anak-anakku. Padahal semua itu bukan kewajibannya. Aku cukup tenteram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan isteriku, karena itu aku menerima sekalipun dimarahi.”

Orang itu berkata, “Amirul Mukminin, demikian pulakah terhadap isteriku?” Jawab Umar, “Ya, terimalah marahnya karena yang dilakukan isterimu tidak akan lama, hanya sebentar saja.”

Kita sangat patut bercermin kepada Sahabat Umar —termasuk 10 sahabat yang dijamin masuk surga—dalam menyikapi kehidupan berumah tangga.

Kini, betapa sering kita menyaksikan bangunan pernikahan yang retak hanya karena masing-masing merasa tidak dihargai, dibenci, dan dimarah-marahi. Terlebih jika seorang suami yang dimarah-marahi, pasti ia akan merasa harga dirinya menjadi rendah, malu, dan kemudian terdorong hatinya untuk pindah ke lain hati. Bukankah tidak sulit seorang laki-laki untuk melakukan hal itu?

Tetapi yang dilakukan Umar, seorang Amirul Mukminin kuat, keras pendirian, dan banyak ditakuti oleh musuh (termasuk oleh syaitan) itu —tidaklah demikian. Beliau sangat memahami konsekuensi dari perjanjian yang kuat (mistsaqan ghalidzan) itu. Beliau pun menyadari akan kebaikan-kebaikan yang dilakukan isterinya dan mengedepankan kebaikan-kebaikan itu di atas kelemahan-kelemahan yang beliau miliki.

Alangkah baiknya, demi melanggengkan bahtera pernikahan, seorang suami selalu mengingati kebaikan-kebaikan isterinya. Tanpa kebaikan seorang isteri, bisa jadi nafkah yang diberikan setiap bulan oleh seorang suami rasanya tidak akan pernah cukup. Seorang suami harus menggaji orang untuk memasak, mencuci, membersihkan rumah, menjaga anak-anak, dan pekerjaan lainnya. Seorang suami juga harus menyediakan fasilitas rumah, pakaian, makanan, dan kebutuhan lain dari isteri secara layak dan memadai. Pendek kata, tugas isteri adalah berhias dan melayani kita dengan sebaik-baiknya, yang lain (terutama mencari nafkah untuk optimalisasi tugas isteri tersebut) adalah tugas dan tanggungjawab suami.

Jika seorang suami merasa belum bisa mencukupi kebutuhan isteri, lebih-lebih sang isteri harus membanting tulang membantu suami mencari nafkah, maka selayaknya ia harus berkaca dari kelemahannya itu demi menumbuhkan penghargaan terhadap sang isteri. Tentu saja, sang isteri juga harus memahami bahwa dengan posisi lebihnya itu ia tidak bisa memaki seenak hati. Ia tetap dianjurkan taat kepada suami demi mendapatkan keridhaannya.

***

Hari ini, saya mencoba merenungi diri. Betapa banyak kelemahan yang saya miliki sebagai suami, betapa banyak kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh isteri. Keterlibatan saya di dalam mengasuh anak-anak, membantu pekerjaan rumah tangga, dan membantu aktivitasnya yang lain, rasanya belum cukup untuk membalas semua kebaikannya itu. Saya belum bisa memberikan sesuatu yang berharga dan membahagiakan dirinya.

Hanya terlintas dalam hati, ‘andai saya tidak ridha kepada isteri saya, alangkah dzalimnya saya. Padahal ia tidak melakukan kemaksiatan apapun.’ Pada akhirnya saya berfikir, hanya ridha suami inilah yang bisa saya berikan kepadanya. Ridha suami inilah yang saya harapkan semoga menjadi jalan baginya untuk memasuki surga-Nya dari pintu mana saja. Mengharapkannya menjadi bidadari di surga yang penuh kenikmatan, sebagai buah dari tugasnya sebagai bidadari di dunia yang dipenuhi ketaatan dan kesabaran. Kadang saya bersedih merenungi kelemahan diri karena tidak bisa memberikan apa-apa. Tetapi saya optimis bahwa Allah akan memberikan balasan terbaik untuknya. Insya Allah.

Waallahua’lam bishshawaab
([email protected]. SMS 0817-99-OIMAN)


18 April 2008, kado kecil pernikahan buat isteriku.