Menyantap Jamuan Allah (Maidah al-Rahman)

Alhamdulillah! Minggu pertama Ramadhan telah usai dan sudah memasuki akhir minggu kedua. Setengah bulanRamadhan telah dilalui. Kalau harus membagi Ramadhan menjadi tiga semester, maka semester puluh pertama adalah rahmah (kasih sayang), semester kedua maghfirah (ampunan) dan semester ketiga `itq min al-nar (terbebas dari api neraka). Ejaan hari Ramadhan terus menapak guliran waktu, dan tanpa terasa derap langkahnya semakin menjauh. Senyum ceria saat kedatangan Ramadhan semakin redup, terusmenjarak sayup melewati suasana keheningan tarawih dan talu tadarus ayat-ayat
al-Qur’an.

Semakin hari, rasa pilu selalu mengusik asa, karena Ramadhan terus berjalan menelusuri dermaga akhirnya tahun ini. Tidak semua orang mampu merasakan pilunya ditinggalkan Ramadhan, walaupun telah melaksanakan puasa. Karena rasa pilu itu bersemayam dalam qalbu orang-orang muttaqien, yaitu hamba-hamba-Nya yang selalu memburu mahkota taqwa. Sebuah mahkota yang tidak mungkin di raih hanya dengan `sekedar’ menahan lapar dan dahaga, namun belum berpuasa sepenuhnya.

Inilah kelompok yang disebutkan baginda Nabi dalam sabdanya "kam min shoim laisa lahu min shiyamihi illa alju’ wa al-‘athsy". Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak
mendapatkan apapun kecuali hanya lapar dan dahaga.

Berduka karena akan ditinggalkan Ramadhan bersemayam dalam hati pelaksana puasa yang sesungguhnya. Baginya, puasa telah menyatu dalam ruang ibadah jiwa. Puasa telah menjadi ruh dalam setiap hembusan nafas kepasrahan kepada Sang Pencipta.

Pelaksanaan ibadah puasa telah berubah wujud dari sekedar melaksanakan kewajiban menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan. Dan sinilah Abu Hamid al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din mengklasifikasi tingkat pelaku puasa menjadi tiga thabaqah (tingkatan). Pertama, puasa orang biasa (shoum al-umum), yaitu pelaksanaan ibadah puasa hanya sekedar menahan nafsu seksual, lapar dan dahaga. Kedua, puasa orang khusus (shoum al¬-khusus). Kelas pelaku puasa ini setingkat lebih tinggi dari yang pertama, karena selain menahan nafsu seksual, lapar, dahaga, juga `memuasakan’ telinga, mata, lisan, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh dan perbuatan tercela dan dosa.

Ketiga, puasa orang yang super khusus (shoum khusus al-khsusus). Ini-lah tingkat akhir dari klasifikasi pelaku puasa, yaitu orang yang memuasakan qalbu-nya dari ambisi dan kecenderungan keduniaan. Pelaku puasa yang memfokuskan diri hanya semata mengharap ridha Allah SWT. Orang yang telah dapat mengalihkan kegelisahan lapar menjadi ketenangan bathin, mewujudkan resah dahaga menjadi kesejukan, memenjarakan birahi dalam jeruji lantunan ayat suci, menaklukkan kepongahan egoisme menjadi kerendahan hati. Orang yang mampu menatap dunia seperti fatamorgana, sehingga hanya menjadikan dunia sebatas persinggahan dan semata ranah pengabdian kepada Tuhan, sesuai dengan ikrar janjinya yang diucapkan dalam setiap sholat "inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil `alamin" . Sungguh sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya semata untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Hamparan Ramadhan membentang luas, seluas terawangan jiwa pelaksana puasa. Karenabaginya, perintah puasa bukan hanya sekedar mengaplikasikan titah Tuhan, tapi juga menerjemahkan empati sosial. Ibadah puasa tidak sebatas mengaktualisasikan hubungan vertikal antara hamba dan Tuhan (hambl min Allah), namun juga pembelajaran dalam merekatkan hubungan sosial antara sesama hamba (habl min al-nas). Sungguh ibadah puasa memiliki lumbung hikmah, baik yang tersirat maupun tersurat. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya al-lbadah fi-al-Islam menulis beberapa hikmah ibadah puasa tersebut, diantaranya adalah: Pertama. Puasa sebagai penguat jiwa.

Untuk mampu menyingkap tabir rahasia puasa, maka perlu untuk mengungkap rahasia
entitas manusia. Apa hakikat manusia itu, apakah hanya sekedar struktur raga? Bukankah manusia itu terdiri raga dan jiwa? Fisik manusia tidaklah menjadi identitas kemanusiaannya tanpa ada jiwa yang yang bersemayam dalam tubuhnya. Itulah manusia,yang terdiri dari raga yang sempurna dan ketinggian jiwa. Dengan keberadaan jiwa-lah hingga para Malaikat diperintahkan Allah SWT untuk bersujud kepada manusia (Adam). Firman Allah, artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat `sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila telah Ku
sempurnakan kejadiannya dan Ku tiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku; maka hendaklah
kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya
‘ (QS: Shad,71-72).

Raga adalah rumah, dan jiwa sebagai pemilik sekaligus penghuninya. Tubuh hanya tunggangan, dan jiwa sebagai penunggangnya. Rumah tidak diciptakan kecuali untuk penghuni, dan tunggangan tidak berguna tanpa pengendalinya. Kedua, puasa sebagai penguat raga.

Kekuatan raga bersumber dari makanan yang dilahap, namun tak jarang juga membuat
petaka. Karena, kebanyakan penyakit bersumber dari lambung yang telah mengkonsumsi
pelbagai macam makanan. Puasa merupakan penangkal dan pengistirahatan lambung dari rutinitas kerjanya. Dengan demikian shiyam menjadi obat bagi raga. Kebenaran kesehatan raga dengan `kapsul’ puasa telah disabdakan oleh Rasulullah SAW " shumuu tashihhu" (berpuasalah maka kamu akan sehat). Ketiga, puasa sebagai pendidikan ego
dan kemauan. Orang yang berpuasa selalu melatih dirinya untuk bersabar dalam segala
kemauan yang menghegemoninya.

Ia harus menahan diri dari segala bentuk yang membatalkan puasa, baik makan, minum dan hubungan seksual, meskipun semua itu milik pribadinya dan halal untuk dimanfaatkan. Kesabaran pelaksana puasa diuji dengan menjauhkan segala sesuatu yang diperbolehkan pada siang hari, dan dengan kesabaran-lah pendidikan ego dan kemauan itu terealisasi. Rasul bersabda : "shoum syahr shabr, tsalatsat ayyam min kulli syahr yuzhibna wa harr al-shadr" (puasa bulan sabar, tiga hari dalam setiap bulan, maka akan menghilangkan sesak dan panasnya dada). Keempat, puasa untuk mengenal nikmat Tuhan.

Dengan berpuasa maka dapat merasakan betapa berharganya segelas air dan sesuap makanan. Bukankah manis itu tak terasa lezatnya sebelum mengetahui rasa pahit, dan seseorang tidak dapat mengilustrasi indahnya purnama tanpa pernah mengetahui terbitnya mentari.

Kelima, puasa sebagai empati. Sikap empati tersirat dalam perintah puasa, karena dengan berpuasa akan bisa merasakan betapa getirnya kehidupan orang-orang papa, yang setiap hari bersahabat lapar dan dahaga. Juga, ibadah puasa mengajarkan persamaan (equality) setiap hamba dihadapan Tuhannya. Si empunya dan papa sama-sama merasakan durjanya haus dan getirnya lapar. Begitulah yang pernah diungkapkan oleh nabi Yusuf, ketika ditanya mengapa ia selalu berpuasa sedangkan harta berlimpah berada dalam genggam kekuasaannya, "aku takut kekenyanganku akan melupakan laparnya orang-orang papa".

Dari uraian di atas, nampak bahwa perintah puasa melegitimasikan kepedulian sosial. Ibadah puasa menjadi maidah a-R¬ahman (hidangan Allah) yang tidak hanya diharuskan untuk kesalehan individual namun juga diperuntukkan bagi kesalehan sosial. Dengan demikian, Tuhan menghidangkan puasa Ramadhan untuk hamba-hamba yang betul-betul mengimani akan instruksi-Nya agar diterjemahkan ke ruang lingkup sosialnya. Dogma titah Ilahiyah yang termaktub dalam puasa Ramadhan menjadi kewajiban bagi setia individu mu’min untuk mematuhinya, dan membangun kepedulian sosial sebagai efek dari kualitas ibadah puasa menjadi layak untuk dijadikan barometer (mi’yar) keabsahan prestasi puasa seorang muslim.

Jika puasanya hanya membangun `menara gading’ ritualitas formal ibadah bagi dirinya secara individual, dan tidak menambahkan kepedulian terhadap lingkungan sosialnya, maka pelaksanaan ibadah puasa yang demikian agaknya patut untuk di `kaji’ ulang, karena sebenarnya berpuasa merupakan penghadiran perilaku Tuhan dalam diri manusia dan transformasi sikap Rasul ke dalam jiwa umatnya.

Jika kepedulian sosial masih selalu berbungkus "kepentingan" yang berlabel pristise
dan politik kekuasaan, berarti puasa hanya sebatas ritual yang berlalu tanpa membekas pada jiwa pelaksana puasa. Akhirnya, puasa Ramadhan menghilang sia-sia, terlewati tanpa meninggalkan secercah makna. Mari jadikan puasa sebagai maidah al-Rahman, (jamuan Allah) untuk disantap di atas hidangan meja Ramadhan, selanjutnya kita distribusikan bersama ke dalam rasa kepedulian, perhatian dan mengasihi antar
sesama. Wallahu `alam.

Hermanto Harun, Dosen Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Syafudin Jambi, Mahasiswa PhD National Univeristy of Malaysia.