Khalid Misy'aal: Tidak Logis, Bangsa yang Dijajah Harus Mengakui Eksistensi Penjajahnya

Khalid Misy’aal, kepala urusan Politik Hamas, diwawancarai Majalah Al-Ahram Al-Araby saat ia berkunjung ke Kairo (18/2). Dalam wawancara ini, Misy’aal kembali menegaskan bahwa Hamas adalah gerakan pembebasan nasional dengan background Islam. Hamas yang akan selalu menjunjung prinsip pertengahan, toleransi, merangkul semua unsur masyarakat Palestina dan gerakan yang menghormati perkembangan, tanpa mengorbankan dan merubah prinsipnya. Apa saja jawaban Misy’aal tentang permasalahan berat yang dihadapi Hamas dari negara Arab, dunia Internasional dan Israel? Berikut petikannya:

Banyak orang beranggapan bahwa kini Hamas dalam posisi dilematik di antara tuntutan dunia internasional, situasi politik dalam negeri dan juga faksi-faksi perlawanan di Palestina. Bagaimana pendapat Anda?

Kami berhadapan dengan tantangan yang besar. Ini benar. Kondisi dilematis, biasanya muncul karena sikap pihak lain kepada kami. Tapi kali ini, kondisinya berbeda. Kami telah menciptakan dilematik bagi pihak lain. Hamas berada dalam posisi siap menghadapi berbagai kemungkinan. Benar bahwa hasil pemilu itu besar dan lebih besar dari persepsi kami sebelumnya. Tapi kemenangan itu datang ketika Hamas berada dalam posisi meningkat, dan tumbuh. Hamas siap untuk sukses. Dan karena itu, tantangan yang ada bukan masalah yang terlalu besar.

Apa saja tantangan-tantangan itu?

Misalnya saja pada tahap menentukan, siapa yang akan menjadi nakhoda bagi kapal Palestina ini. Bagaimana pola interaksinya dengan pihak lain. Baik Saudara Mahmud Abbas (Abu Mazin) sebagai kepala pemerintah Palestina, atau sejumlah kelompok yang digunakan oleh Hamas. Kami akan menerapkan politik koalisi yang seimbang menampung berbagai hak dan prinsip rakyat Palestina. Hamas menyampaikan masalah ini dengan detail secara realistis, ke hadapan pemikiran dan tuntutan mereka. Tentu saja ini bukan hal mudah.

Negara-negara Arab secara implisit mengakui Israel. Sedangkan pihak Anda yang mewakili pemerintah juga pasti dituntut untuk mengakui Israel. Bagaimana Anda menyikapi hal ini?

Ini adalah tuntutan yang disampaikan kepada Hamas, baik dari AS maupun dari negara-negara kwartet. Tuntutan ini kami sikapi dengan dua sudut pandang yang sangat prinsipil. Pertama, tidak masuk akal jika negara dan bangsa yang dijajah dituntut untuk mengakui eksistensi penjajahnya. Logika normal menyebutkan bahwa pihak yang diserang dan dimusuhi lah yang meminta agar dihentikan permusuhan dan peperangan atasnya, hak-hak asasi bangsanya harus diakui oleh penjajah. Bukan sebaliknya. Sudut pandang kedua, adalah, pengakuan yang dilakukan pihak lain ternyata tidak membawa efek apapun bagi penjajah. Apakah dengan pengakuan itu permasalahannya selesai? Tentu tidak. Yang kami maksud adalah, pengakuan atau tidak itu bukan solusi dalam masalah ini. Bahkan pengakuan tidak bisa menjadi jalan keluar ditinjau dari pemikiran pragmatis kepentingan sekalipun. Banyak yang telah mengakui Israel, tapi realitasnya tidak berubah.

Lalu bagaimana Anda akan mengatur perundingan dengan Israel?

Perundingan dengan Israel itu mempunyai dua bentuk. Pertama, perundingan terkait masalah realistik hajat kehidupan yang melibatkan kedua belah pihak, antara Palestina dan Israel. Apalagi Pemerintah Palestina bagaimanapun merupakan pemerintahan yang ada di bawah kekuasaan Israel yang sudah tentu ada banyak sentuhan dan pengaruhnya bagi Israel. Menyikapi perkembangan seperti ini mau tidak mau harus dilakukan. Tidak soal bangsa kami berinteraksi dengan Israel, dan ini tidak dinamakan dengan perundingan. Karena perundingan dalam ilmu politik adalah perundingan politik yang berarti, ada sejumlah permasalahan tertentu yang dirundingkan dan dihasilkan kesepakatan tertentu. Sedangkan interaksi dengan hajat kehidupan yang real tidak masalah.

Kedua, bentuk perundingan politik yang kami anggap saat ini tidak bisa dilakukan dengan Israel. Karena Israel sendiri tidak siap mengakui hak-hak Palestina. Israel harus mendapat tekanan serius baik dari perlawanan Palestina, tekanan dunia internasional, tekanan diplomatik, tekanan bangsa Palestina, dengan sabar dan memerlukan waktu lama. Sampai pada waktunya semua itu memaksa Israel untuk memutuskan pergi dari tanah jajahannya. Ketika itulah, perundingan mungkin dilakukan secara efektif. Adapun perundingan sebelum keputusan itu, adalah perundingan yang tidak mempunyai arti apa-apa dan bahkan merupakan langkah yang semakin mendorong munculnya aksi kekerasan. Ini adalah perundingan untuk tujuan perundingan lagi dan untuk sekedar memperbaiki image di hadapan dunia internasional. Permainan seperti inilah yang tidak akan kami masuki. Mantan penguasa Palestina Yasir Arafat Abu Ammar telah mengalami permainan perundingan seperti itu. Sama halnya dengan Abu Mazin. Dan perundingan itu tidak ada hasilnya. Lebih baik kami mengambil pelajaran dari mereka dan hasilnya kami tidak akan melakukan langkah gratis dalam hal ini. Israel sudah mengetahui sebelum yang lain, bahwa mereka tidak siap untuk berunding sekarang, karena mereka tidak siap untuk membayar harga yang harus mereka tunaikan dari perundingan.

Apakah artinya Anda akan berinteraksi dalam urusan hajat kehidupan, dengan Israel?

Sudah tentu. Kami telah sukses mengelola sejumlah distrik. Saya beri contoh, di distrik Qalqiliyah yang dikelola oleh Hamas. Qalqiliyah sebagaimana yang Anda tahu, dikelilingi oleh tembok rasialis dan dikepung oleh batas jalur hijau. Orang-orang menyeberangi pembatas tembok itu lewat sejumlah pintu, dan ini masalah yang nyata. Di sana juga ada sejumlah kepentingan terkait air, listrik dan imigrasi. Ini semua dilakukan dengan koordinasi bersama Israel. Bahkan ada pula interaksi realistik di tengah keberadaan penjajah itu, misalnya soal penangkapan warga Palestina yang tak mungkin tanpa komunikasi. Ini adalah masalah aksiomatik dalam situasi yang memaksa sebuah bangsa yang dijajah untuk berinteraksi dengan penjajahnya. Masalah mendesak dan bukan menjadi pilihan kami.

Mohon konfirmasi tentang isu yang menyebutkan bahwa Hamas akan mengakui Israel sebatas perbatasan tahun 1967?

Itu tidak benar. Tema pengakuan terhadap Israel tidak banyak dibahas oleh Hamas. Karena penjajah sendiri tidak memperoleh legalitas dalam pencaplokan itu. Begitu juga masalah perampasan, penyerangan, penculikan dan semacamnya. Jadi tidak ada seorangpun dari bangsa Palestina sebagai korban dalam penjajahan ini, untuk mengakui musuhnya yang menjajah negaranya dan menodai kesuciannya. Terkait perbatasan 1967 atau lainnya, saya katakan bahwa saat ini ‘bola’ berada di tangan Israel. Karena Israel yang menduduki tanah air kami, dan Israellah yang menjadi penyebab gentingnya kondisi di Timur Tengah. Jika Israel memutuskan untuk meninggalkan Palestina dan mengakui hak bangsa Palestina sesuai perbatasan 4 Juni 1967, itu berarti ia mendapat legalitas dari pemerintah Arab dan mengakui Jerussalem sebagai ibukota Palestina, sekaligus mengakui hak kembalinya pengungsi Palestina yang kini menyebar di berbagai tempat. Jika itu terjadi, maka menjadi hak dunia internasional untuk datang dan meminta kami untuk menentukan sikap.

Apakah gencatan senjata akan dilanjutkan?

Gencatan senjata secara temporer berakhir pada tahun 2005 lalu. Demikianlah, telah lewat secara waktu dan telah berlalu pula kenyataan bahwa Israel tidak komitmen dengan perjanjian gencatan senjata dan soal pelepasan para tahanan. Karenanya, kami harus menyelsaikan masalah ini. Hamas harus melindungi rakyat Palestina. Hamas harus mengatur perlawanan dengan keputusan kami sendiri, berdasarkan kepentingan perlindungan rakyat kami dan kemampuan kami untuk bertahan di bawah pendudukan. Perlawanan akan mengatur secara sepihak, dan tidak terikat dengan apapun. Pilihan gencatan senjata sudah kami lakukan dua kali dan tidak bermanfaat. Selanjutnya kami tidak akan mengulanginya lagi. (na-str/pic)