Wawan H. Purwanto: Pemberantasan Terorisme, Jangan Hanya dengan Pendekatan Represif

Dalam sepekan kepolisian mengklaim berhasil menangkap sembilan tersangka terorisme, salah satunya adalah Abu Dujana alias Yusron Mahmudi alias Mahfud, tersangka terorisme yang tertangkap di Banyumas, pada 9 Juni lalu, setelah kakinya tertembus peluru panas polisi. Apakah penangkapan Abu Dujana ini akan menjadi titik terang untuk membongkar jaringan teroris yang diduga ada di negeri ini?

Dan benarkah mereka yang tertangkap terlibat aksi-aksi terorisme seperti yang dituduhkanpolisi? Berikut wawancara Eramuslim dengan Pengamat Intelijen Wawan H. Purwanto.

Penangkapan Abu Dujana apakah akan menjadi klimaks dari proses perburuan para tersangka pelaku terorisme di Indonesia, karena tokoh utamanya Noor M Top belum tertangkap. Pandangan Anda tentang hal ini?

Kalau pun Noordin M. Top ditangkap juga pasti menurut catatan pada lapis ke bawah itukan masih banyak. Penanganan seperti itu sebenarnya bukan hanya menjadi persoalan penegakan hukum saja, tetapi bagaimana menghimbau supaya mereka itu tidak masuk atau tidak terhalang pada keinginan-keinginan mereka dalam melakukan aksi-aksi itu.

Perlu ada pendekatan khusus, tidak hanya represif dan persuasif saja. Kalau hanya represif, kurang berimbang. Bagi saya cita-cita itu tidak akan mati ketika orang itu dihukum mati. Karena cita-citanya akan tetap ada kan, tapi andai kata orang-orang itu diajak berdialog atau berfikir jernih bahwa apa yang dilakukannya itu ternyata menimbulkan kerugian besar terhadap negerinya, maka ini membuat mereka berfikir ulang bahwa kalau memang ingin bertempur di tempat yang sesungguhnya. Seperti di Afganistan, di Irak dan lain-lain. Tapi kalau di Indonesia itu jelas sudah salah sasaran, inilah yang kita coba berikan.

Tapi sebagian masyarakat juga ada yang merasa ragu, seperti waktu Azhari tertangkap, pihak keluarganya tidak yakin Azhari melakukan kegiatan tersebut?

Ya begini kalau misalnya keluarga tidak yakin, perlu adanya suatu bukti-bukti, sama-sama ada bukti lebih baik. Saya kira negara kita adalah negara hukum, semuanya diserahkan untuk bisa dibuktikan kebenarannya. Polisi juga perlu melaksanakan sesuatu yang sifatnya pro yustisia. Saya kira itu bukan suatu persoalan, ini perlu mekanisme atau aturan main di depan hukum, mereka punya hak yang sama, tapi juga keyakinan itu juga bukan berdasarkan asumsi atau anggapan saja.

Apa upaya yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk menyakinkan masyarakat, bahwa yang ditangkapnya itu adalah pelaku tindak pidana terorisme?

Tentunya masyarakat kalau mau ikut serta di pengadilan akan lebih baik, karena itu terbuka untuk umum, semuanya bisa tahu persis dari penjelasan-penjelasan para saksi maupun dari tersangka sendiri, itu bisa diketahui dengan bukti-bukti yang ditunjukan melalui persidangan. Seandainya buktinya lemah, seperti halnya Ustad Abu Bakar Baasyir tidak terbukti dalam kasus tindak pidana terorisme Bom Bali I, kenyataannya akan dilepas juga, yang terpenting dan utama ada buktinya, enggak masalah kok itu. Yang penting bukti-buktinya kuat.

Selama ini ada anggapan kerja Densus 88 hanya untuk memuaskan tuntutan pihak asing. Waktu Dujana tertangkap, Australia lebih dulu tahu, bukan masyarakat indonesia. Komentar Anda?

Kalau ini dianggap memuaskan asing, saya kira juga tidak tepat. Karena asing pun merasa dirugikan, seperti Australia warga negara mereka juga ada yang menjadi korban. Selain itu, kan sudah ada suatu komitmen bersama antar negara Asean sendiri, dengan Australia juga. Ada upaya untuk mengurangi teroris yang ada di negerinya. Karena sekarang ini Indonesia dianggap menjadi sarang terorisme internasional, mereka sebetulnya memberikan support berbentuk teknis. Akan tetapi dia tidak bisa seenaknya mengendalikan atau lantas kita menjadi tidak berdaulatan. Kita harus kembali melihat, bahwa ini negeri kita sendiri, kita yang berhak mengamankan bukan orang-orang asing itu.

Bagaimana pandangan anda jika lalu lintas jaringan terorisme selalu dikaitkan dengan jaringan Al-Qaidah atau organisasi Islam lainnya, sebenarnya ada apa di balik itu?

Ini jangan dikaitkan dengan Islamlah, itu sangat tidak tepat. Kita harus melihat ini sebagai tindak pidana. Kalau misalnya menyatakan Islam, pasti banyak yang tersinggung. Sebab Islam sendiri tidak mengajarkan pola-pola kekerasan, terhadap orang yang tidak bersalah. Tapi itu lebih tepat saya katakan, bahwa dia itu salah menerapkan teori-teori jihad. Yang mestinya dipakai di Afganistan, yang merupakan rumah pertempuran diimpor ke sini itu yang jadi salah, bukan Islamnya.

Menyoal terorisme, Anda melihat ada peran Barat sebagai pemicu makin suburnya aksi-aksi terorisme?

Kalau bangsa Barat mengenal istilah yang namanya pertempuran peradaban, pertempuran peradaban itu sudah diramalkankan beberapa tahun yang lalu, perang itu bakal ada setelah perang dingin.

Perlu disadari benturan itu pasti terjadi, tapi bertahan saja, namanya juga gesekan dalam hidup pasti ada. Misalnya dalam kehidupan antar etnik di Indonesia, sering juga terjadi gesekan, karena kita manusia hidup di dalam sebuah komunitas sosial. Maka gesekan seperti itu, bukan hal yang berlebihan, hanya dikatakan seolah-olah menakutkan, sebab pergeserkan itu bisa dari bidang lain, bukan Islam dengan Barat saja, tapi Barat dengan Barat sendiri juga bisa terjadi gesekan. Cuma ada yang melintir dan mempolitisir seolah-olah perburuan itu terjadi antara Islam dengan barat, sehingga ini menciptakan opini yang dikembang-kembangkan sehingga muncul sentimen, menjadi mengerucut dan akhirnya terjadi tindak-tindak kekerasan, seperti itu.

Awalnya ini politis saja. Rusia atau Uni Soviet misalnya, awalnya berteman kan dengan Amerika. Pejuang Afgan itukan yang membina Amerika, kebetulan saja kepentingan itu berbalik, tidak ada kawan yang abadi, tidak ada lawan yang abadi. Yang ada kepentingan, kebetulan kepentingan berhadapan, mereka jadi berhadapan.

Kira-kira untuk Indonesia bisa bersih tidak dari aksi terorisme?

Ini perlu waktu ya, saya sudah bertemu dengan kelompok Taliban di Oman. Saya sampaikan, "Kalau Anda kembali ke negeri Anda apakah akan jadi teroris?" Mereka bilang tidak, saya akan kembali ke profesi semula di negeri kami. Saya juga tanya, "Bagaimana dengan Indonesia, apakah mereka melakukan aksi terror?" Dia mengatakan itu hanya sedikit dari apa yang ada, karena dia bilang orang Indonesia di sana, jumlahnya ribuan, lebih dari 7. 000. Kemudian yang melakukan pengeboman hanya beberapa gelintir saja. Lebih banyak terbentuk justru small group yang tercipta di Indonesia, bukan alumni Afganistan, dan kata mereka jangan dipukul rata, tidak baik, ini akan menimbulkan sakit hati, dan justru mereka akan ikut bergabung. Oleh karena itu saya perlu garis bawahi ini perlu pendekatan, supaya orang-orang alumni Afgan mendekati kelompok mereka yang ingin bergerak, untuk mengingatkan kembali bahwa Indonesia ini bukan rumah tempur. Kalau mau bertempur kembali ke rumah yang sesungguhnya jangan di sini. (novel)