Anak-Anak Irak Menderita Trauma Akibat Perang, Siapa yang Peduli?

Bagi Sarah al-Jamal, gadis Irak berusia 12 tahun, dunia sudah berakhir ketika ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ayahnya tewas ditembak. Gadis Irak yang sedang beranjak remaja ini, dulunya adalah seorang gadis yang banyak bicara, pintar dan salah seorang siswa terbaik di sekolahnya. Tapi sekarang, Sarah menjadi salah seorang dari makin banyaknya anak-anak Irak yang mengalami trauma akibat perang di negeri itu yang dipicu oleh invasi AS. Sarah kini tidak mampu lagi melihat kenyataan hidup yang terjadi disekelilingnya.

"Ia menderita kerusakan syaraf yang konstan, gelisah, gugup dan mulai berteriak-teriak histeris ketika ia melihat seorang polisi atau tentara," kata Husein Ali Muhsin, Direktur Al-Rajaa Institute for Special Needs. "Kondisi mentalnya tidak lagi stabil dan dia tidak bisa konsentrasi dengan pelajarannya. Kematian ayahnya di depan matanya telah mengubahnya menjadi orang lain," sambung Ali Muhsin.

Sarah adalah salah seorang siswi di sekolah Muhsin yang didirikan sejak tahun 1968. Awalnya sekolah ini merupakan sekolah khusus bagi anak-anak yang menderita kelainan mental, utamanya akibat penyakit Down Syndrome. Namun sejak April 2003, sekolah ini membuka pintu bagi anak-anak di Baghdad yang mengalami trauma pasca invasi AS ke Irak.

"Kami berada dalam situasi perang selama tiga tahun dan kasus anak-anak yang menderita gangguan syaraf makin banyak jumlahnya," kata Muhsin. Saat ini, sekolah Muhsin memiliki lima orang anak seperti Sarah, sedangkan 70 siswa lainnya menderita Down Syndrome.

"Sebenarnya banyak sekali kasus di luar sana, tapi karena tradisi dan kondisi masyarakat, kebanyakan keluarga lebih lebih suka menyembunyikan anak-anaknya. Kami tidak tahu tentang mereka sampai kita sendiri melakukan pendekatan," jelas Muhsin.

Perang merupakan hal yang berat bagi anak-anak. Suara helikopter yang lewat di atas kota Baghdad saja sudah cukup membuat anak-anak panik dan ketakutan. "Dengan suara ledakan bom-bom dan tiap kali helikopter melintas di atas kepala, sekolah menjadi kacau," katanya.

Sekolah yang dipimpin Muhsin hanya memiliki 10 orang guru yang bekerja keras untuk menghilangkan rasa ketakutan pada anak-anak dengan memberikan mainan atau mengarahkan anak-anak itu pada lagu-lagu atau tari-tarian yang mereka kenal dengan baik. Atau kadang-kadang membacakan buku-buku cerita.

"Kami melakukan apapun unu anak-anak ini. Kami mengorbankan waktu dan mempertaruhkan hidup kami untuk mengajar mereka," kata seorang guru, Hayat al-Khafaji.

Dengan gaji yang jumlahnya berkisar antara 70 sampai 330 dollar per bulan, para guru harus melalui jalan-jalan yang berbahaya di kota Baghdad untuk mengajar anak-anak itu. Sekolah Muhsin memberikan ketrampilan dasar bagi para siswanya agar bisa bertahan dalam hidup, termasuk ketrampilan membaca dan menulis serta pelajaran bagaimana berinteraksi dengan orang lain.

"Anak-anak di sekolah ini belajar bagaimana menggunakan komputer dan kami mencoba membantu mereka dengan materi-materi yang kami punya," ujar Khafaji.

Anak-anak perempuan selain belajar komputer, juga diajarkan menjahit. Sedangkan anak laki-laki diajarkan ketrampilan di bidang perkayuan atau mekanik. Diharapkan, ketika dewasa anak-anak ini bisa mencari nafkah sendiri.

Namun bagi Ummi Abdullah, peralatan sekolah yang sederhana itu tidak cukup bagi anaknya yang menderita trauma akibat perang. Ia menyayangkan kurangnya sumber daya manusia dan metode pengajaran yang kurang imajinatif.

"Sekolah bahkan tidak punya ayunan tempat di tamannya buat bermain anak-anak. Tidak seorangpun yang peduli lagi dan cara mereka mengajar anak-anak sudah ketinggalam jaman!" keluhnya.

Bagi Ummi Abdullah, krisis yang melanda hidupnya sehari-hari makin memburuk. "Tidak seorangpun bisa lepas dari penderitaan batin akibat perang ini. Bahkan anak-anak ini yang tidak mengerti apa yang sedang mereka alami," katanya. (ln/middleeastonline)