Hamas Keluarkan Bayan: Kenapa Kami Menolak Referendum?

Hamas mengeluarkan pernyataan baru berjudul “Mengapa Kami Menolak Referendum terhadap Dokumen Tawanan Penjara Hadaraem?” Dalam pernyataan yang dikirimkan ke sejumlah media massa, Rabu (14/6) tertulis berbagai alasan mendasar terkait penolakan Hamas terhadap ide referendum yang gencar diangkat oleh Presiden Palestina Mahmud Abbas.

“Dokumen tawanan itu tidak mewakili pandangan seluruh tawanan pejuang Palestina di penjara Israel. Dokumen itu hanya mewakili satu penjara, yakni penjara Hadaraem. Meskipun dokumen itu disebut telah melalui proses komunikasi dan musyawarah oleh pejuang Marwan Al-Barghoutsi sebagai perwakilan gerakan Fatah kepada sejumlah tawanan di berbagai penjara, tapi para tawanan asal Hamas, Jihad Islam dan Jabhah Syabiyah yang telah menandatangani dokumen itu tidak pernah mengkomunikasikan apa yang mereka lakukan kepada saudara-saudara mereka sesama tawanan di penjara Israel. Sementara jumlah mereka di penjara Hadaraem itu sangat sedikit ketimbang jumlah para tawanan yang ada di penjara lainnya.”

Bayan Hamas juga menegaskan, “Seruan Abbas untuk menggelar referendum tidak mempunyai pijakan hukum dan undang-undang yang berlaku. Dalih undang-undang yang diajukan sangat lemah dan batal demi hukum. Maka, jika seandainya kita harus melakukan referendum maka referendum itu hanya akan berlaku bagi sebagian rakyat Palestina dengan mengabaikan sebagian besar lainnya, sehingga referendum menjadi tidak sah. Selain itu, apa logika keberhasilan referendum jika hanya mewakili rakyat Palestina yang berada di dalam Palestina saja, padahal rakyat Palestina tersebar di berbagai tempat hingga jumlahnya mencapai 6 juta jiwa. Kami juga harus mengingatkan bahwa Presiden Abbas dan sejumlah tokoh pemerintah, telah mengeluarkan janji sebelum pemilu legislatif terakhir, bahwa pemilu tidak akan diselenggarakan kecuali jika rakyat Palestina tidak memberikan suaranya dalam referendum dan ada jutaan rakyat palestina yang tidak mengetahui duduk perkara referendum ini.”

Aspek lainnya, menurut Hamas, referendum yang diusulkan Abbas merupakan referendum terhadap hak-hak bangsa Palestina terhadap tanah airnya. Ini tidak bisa diterima sama sekali. Dan bahkan menjadi masalah yang sangat berbahaya jika pada akhirnya bangsa Palestina menyerahkan hak-haknya. Sebagaimana beberapa tahun lalu, terjadi kondisi yang berlebihan dari sejumlah pemimpin Palestina dalam perundingan damai yang menyerahkan sebagian Palestina, sementara pada hari ini ada pihak lain yang ingin menjerumuskan bangsa Palestina pada situasi ‘tidak proporsional’ dalam menyikapi posisi tawanan dan tokoh mereka, serta upaya pemutarbalikan fakta terhadap hak rakyat Palestina.

Bagi Hamas, memang telah terjadi pemutarbalikan fakta dan pembohongan besar yang begitu terorganisir terkait rencana referendum ini. Kebohongan itu, misalnya tercermin dari dokumen tawanan yang memuat 18 poin, namun hanya disalurkan dalam sebuah referendum “ya” atau “tidak”. Bentuk referendum seperti ini sama sekali tidak masuk akal, terlebih isi dokumen tawanan itu ada yang positif dan ada pula yang berbahaya dan negatif. Referendum seperti ini dipastikan akan memicu perselisihan tajam di antara rakyat Palestina. Dan akibatnya sangat fatal, yakni menyerahkan hak Palestina atas nama rakyat Palestina.

Hamas juga mengungkapkan pendapatnya tentang dokumen tawanan yang menjadi rujukan referendum. “Dengan tetap memberi penghormatan kepada saudara-saudara kami di penjara Israel, dengan tetap menghormati pendapat dan ijtihad mereka, namun itu tidak berarti bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan ijtihad yang sakral dan suci sehingga pendapat mereka pasti benar seluruhnya. Sebagaimana mereka juga mengajukan dokumen itu untuk dibicarakan dalam Dialog Nasional, bukan untuk dijadikan rujukan dalam referendum. Karenanya, menyikapi dokumen tawanan sebagai teks suci yang tak mungkin direvisi tidak bisa diterima oleh logika apapun.

Di akhir Bayannya, Hamas menyampaikan permohonan kepada Presiden Mahmud Abbas, untuk mengevaluasi kembali pendapatnya, untuk kemudian mengambil keputusan berani, bersejarah terkait referendum. Memilih jalur dialog, menurut Hamas lebih menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi perbedaan pendapat di Palestina. Dialog juga bisa lebih mampu mengerahkan perlawanan menghadapi pendudukan Israel dan eskalasi serangan militer Israel terhadap Palestina. “Bangsa Palestina, khususnya setelah pembantaian keji di Ghaza dan penderitaan bayi perempuan Hadi Ghaliyah yang terbunuh sebagian besar keluarganya oleh serangan Israel, lebih memerlukan dialog dan kesepakatan bersama, bukan pada referendum yang bisa memunculkan perpecahan.” (na-str/ikhol)