Kamerawan LBC: “Saya Banyak Meliput Peperangan, tapi Kengerian di Bint Jubail Luar Biasa”

Angin semilir membawa aroma kematian berhembus dari setiap arah. Mayat di bawah reruntuhan gedung, nyaris tak ada yang menyelamatkannya. Tidak ada rambu-rambu jalanan, setelah rumah dan gedung-gedung rata dengan tanah. Semua pejalan kaki harus melewati pegunungan batu tembok yang telah hancur. Seperti itulah pemandangan yang dilihat para wartawan dan relawan internasional di kota Bint Jubail, Selatan Libanon.

Para wartawan dan relawan baru dibolehkan masuk ke wilayah itu untuk pertama kalinya setelah 21 hari peperangan. Dihentikannya serangan udara oleh Israel selama 48 jam, adalah rentang waktu yang paling mungkin digunakan para wartawan dan tenaga medis untuk masuk ke Bint Jubail.

Dalam komunikasi dengan Islamonline, para utusan itu yang mendatangi kota Bint Jubail sepakat menyebut Israel sengaja menghancurkan Bint Jubail sebagai pembalasan atas kematian pasukannya akibat serangan Hizbullah. Namun kerugian besar dan kehancuran luas itu, sepertinya takkan terhapus dari sejarah meskipun kelak bekas-bekasnya telah dibersihkan. Peristiwa penghancuran itu akan tetap dikenang. Seperti itulah pandangan walikota Bint Jubail. Bint Jubail akan tetap dikenang sebagai benteng perlawanan yang gigih, untuk membangun kembali Timur Tengah di atas reruntuhannya. Bint Jubail yang akan menjadi saksi kuat atas kekuatan pasukan Hizbullah melawan penjajah Zionis Israel.

“Kami tidak melakukan aktifitas meliput dan jurnalistik lainnya di sini. Kami menyelamatkan korban. Termasuk 10 orang lansia, tiga di antara mereka menyebutkan namanya, tapi kebanyakan dalam kondisi depresi,” seperti itulah ungkapan kamerawan Sulthan Sulaiman, wartawan LBC, yang turut dalam kunjungan ke Bint Jubail. Sulthan sadar bahwa kunjungannya sangat terkait dengan tugas mengambil gambar, tapi ia kepada harian As Safeer mengatakan, “Dalam kondisi seperti ini, menyelamatkan nyawa manusia lebih penting ketimbang mengambil gambar.”

Usai menyelamatkan para korban yang mungkin dilakukannya, Sulthan sempat mengambil sejumlah gambar. Tapi ia mengaku tak kuasa menahan bau anyir darah dan bau mayat yang muncul dari rongga reruntuhan gedung dan rumah di Bint Jubail. Toh itupun bukan berarti membuat dirinya dan rekan-rekannya menghindar. Justeru itulah yang mereka cari. Masing-masing wartawan akan berteriak kepada sesamanya jika mendapatkan gejala ada korban yang mungkin diselamatkan. “Saya belum pernah melihat pemandangan mengerikan seperti ini seumur hidup. Meskipun saya berulangkali hadir dalam medan perang. Saya pernah hadir dalam perang Irak, juga dalam perang Libanon tahun 1982. Tapi yang saya saksikan sekarang jauh lebih memprihatinkan,” ujarnya. Suasana kota sunyi senyap. Para jurnalis sengaja diam, dan berusaha mendengar kalau-kalau ada sura rintihan dari sela-sela reruntuhan. “Berjalan di antara puing-puing itu, benar-benar pemandangan yang melupakan kehidupan,” katanya.

Di antara para korban yang diselamatkan adalah Amin Ayoub (77) dan Raim Syarara (85), juga Zainab Darwish dan Zainab Isa. Saat ditanya apa yang mereka makan dalam beberapa hari kemarin, mereka menjawab, “Roti kering dan sedikit air….” Ada pula sejumlah korban lansia yang tak ingat lagi siapa namanya. Ia tidak dapat bicara, meski tim medis telah membawanya melalui ambulan untuk ditolong.

Ali Bezi, walikota Bint Jubail meriwayatkan pemandangan seperti neraka yang menimpa kotanya. “Sekitar 30 hignga 40 bom jatuh dalam satu menit. Dan itu berlangsung dalam satu hari. Kami tidak mampu menyelamatkan para korban yang masih berada di bawah reruntuhan gedung. Kami perlu alat-alat berat untuk menyelamatkan jenazah mereka. Tapi itu hanya mungkin dilakukan jika ada gencatan senjata,” ujar Ali. Tantangan yang harus dijawab dalam waktu dekat, kata Ali, adalah menjamin makanan dan perlengkapan hidup bagi enam ribu orang pengungsi yang berada di berbagai daerah di Libanon. Sementara dana cadangan yang dimiliki Bint Jubail, adalah 200 juta dolar.

Seorang yang selamat dari serangan udara Israel menyebutkan bahwa serangan udara Israel menargetkan kota tua dan pasar yang menjadi fokus kehidupan masyarakat dari 34 desa. “Bom yang dijatuhkan itu tidak hanya untuk mencabut nyawa kami tapi Israel ingin menghancurkan mental penduduk di sini agar mau berdiri menghalangi perlawanan. Tapi keinginan itu pasti tidak akan pernah berhasil,” ujarnya. (na-str/iol)