Mantan Napi Politik Tunisia, Minta Dikembalikan Lagi ke Penjara

Seorang dosen di fakultas sains Tunisia, memiliki gelar sarjana di bidang fisika dan kimia, kini hidup sebagai pedagang sayuran. Dialah seorang warga Tunis yang meminta agar dirinya dikembalikan lagi ke dalam penjara. Alasannya, pasca ia dibebaskan dari penjara kehidupannya justeru penuh tekanan dan lilitan kesulitan.

Teror keamanan yang diperolehnya, menyebabkan nyaris tak ada kebahagiaan yang ia dapatkan meski menghirup udara bebas di luar penjara. Tak ada sebab lain yang begitu menekan hidupnya seperti itu, kecuali lantaran ia dahulunya adalah tahanan politik yang ditangkap dan dipenjara dengan tudingan bergabung dengan harakah Nahdhah, yang dilarang oleh pemerintah Tunisia.

Tekanan yang terjadi atas mantan napi politik di Tunis itu terjadi pada diri Shalahuddin Alawi, yang memang beberapa waktu lalu meminta pemerintah Tunisia untuk mengembalikannya ke dalam penjara. Setidaknya, menurut Alawi, penjara akan menjamin kebutuhan makanannya untuk bisa menyambung hidup. Curahan perasaannya itu ia sampaikan kepada koresponden Islamonline.

Menurut Alawi, terkait permintaannya untuk dipenjara adalah karena pemerintah Tunisia tetap melarangnya untuk menjadi seorang akademisi yang berprofresi dosen. Ia bahkan mendapat kontrol yang sangat ketat dari pemerintah. Itulah yang menyebabkannya tidak diterima mengajukan lamaran pekerjaan apapun, setelah ia keluar dari penjara. Alawi pernah divonis 13, 5 tahun penjara ditambah 16 tahun dengan mendapatkan perhatian khusus dari keamanan Tunis, karena posisinya dalam harakah Nahdhah.

Sampai-sampai pada hari pernikahannya beberapa waktu lalu pun ia mendapat pemantauan dan penjagaan ketat dari keamanan Tunis. Ia menyunting seorang gadis yang kebetulan juga anak dari tokoh gerakan Nahdhah, Hamadi Al-Jabali, yang sekaligus direktur harian Al-Fajr.

Menurut Al-Jabali, kepada Islamonline, "Ini masalah yang sudah disepakati oleh kepolisian politik untuk terus memantau dan mendengar dari tamu-tamu yang hadir. Pemilik aula pernikahan pun sempat diminta untuk menutup aulanya saat kedua mempelai akan masuk ke ruangan oleh kepolisian. Alasannya, tak ada izin dari kepolisian lokal untuk mengadakan pernikahan bagi mantan napi politik tersebut. Mobil-mobil para tamu yang berdatangan juga dilarang memasuki wilayah tersebut. Para tamu kemudian panik dan takut karena semua kendaraan mereka dihentikan dan diperiksa polisi.

Al-Jabali melanjutkan, "Ketika akhirnya kami dan sejumlah tamu undangan melakukan penyempurnaan pesta pernikahan di rumah, kami ternyata dikejutkan lagi dengan sejumlah mobil polisi yang datang untuk menghadang jalanan menuju rumah. Mereka terus memantau sampai hal-hal paling kecil. Mereka menunggu di sejumlah rumah tetangga dan bahkan memutus aliran listrik, lalu melarang tim nasyid yang datang untuk menghibur mempelai. Mereka juga menghalangi kursi-kursi tamu dan sejumlah kepentingan acara untuk bisa dibawa ke lokasi pernikahan. Menurut Al-Jabali, sikap polisi yang sangat keras seperti ini adalah memang karena Alawi adalah mantan napi politik.

Setelah ia dikeluarkan dari penjara, ia diminta datang ke salah satu pos keamanan Tunis pada tanggal 2 Februari. Dalam waktu delapan jam ia diinterogasi sekedar untuk menjelaskan alasan yang melatarbelakangi permintaannya untuk dikembalikan ke penjara dan kemudian dilanjutkan pada pertanyaan kenapa ia melakukan wawancara dengan salah satu wartawan Belgia dan kehadirannya di sejumlah aksi politik dan forum pemikiran.

Hingga saat ini diperkirakan masih ada sekitar 100 orang pimpinan dan kader An Nadhah yang berada di penjara-penjara Tunisia. Ditambah lagi ribuan orang dari gerakan Nahdhah yang diasingkan sejak 16 tahun silam. Termasuk pimpinan Nahdhah, Rashed Ghanusi. (na-str/iol)