Meski Berdebat Sengit, Qardhawi-Rafshanjani Minta Umat Islam Bersatu

Meski berbeda tajam dalam beberapa hal, namun kedua tokoh ini sepakat secara prinsip soal kesatuan kaum Muslimin untuk menghindari konflik antar madzhab dan benturan yang bisa mengundang bahaya bagi umat Islam secara keseluruhan.

Apa akar perselisihan antara Sunni dan Syiah dan bagaimana solusinya? Ini tema perdebatan sengit yang terjadi antara DR. Yusuf Qaradhawi mewakili kaum Sunni dan Hashemi Rafsanjani mewakili kalangan Syiah. Pertemuan antara dua pakar itu baru-baru ini ditayangkan langsung di TV satelit Al-Jazeera.

Rabu sore (14/2), Al-Jazeera mengtur pertemuan antara Yusuf Qaradhawi selaku ketua Forum Ulama Islam Internasional dan Hasyemi Rafsanjani selaku Ketua Forum Spesifikasi Pemerintahan di Iran. Qaradhawi menyampaikan uraiannya dengan ‘blak-blakan’, terus terang, sebagaimana seorang ulama yang sangat ingin menyatukan umat Islam dan berupaya untuk langsung menyentuh ‘tempat luka’ masalah tersebut. Sementara Rafsanjani yang juga mantan prsiden Iran melakukan dialog secara diplomatis mencerminkan sosok politisi dan tokoh negarawan. Itulah sudut pandang perbedaan pola dialog yang disampaikan kolumnis Islam Fahmi Huwaidi.

“Kita harus memelihara dan terus memelihara kesatuan umat serta menghadapi semua upaya yang ingin memecah belah umat. Islam berada di atas madzhab, negara dan etnik, ” ujar Qaradhawi dalam salah satu kalimatnya di akhir pertemuan yang berlangsung 90 menit.

Ia menolak pemecahbelahan dan pembedaan kaum Muslimin berdasarkan etnik atau madzhab bahkan pembagian Shafawi dan Arab. “Jika kita mau membuka dialog antara Islam dan Kristen, bagaimana kita tidak bisa menerima dialog antara Islam dan Islam?” ujar Qaradhawi.

Sedangkan Rafsanjani di awal pertemuan menyampaikan antusiasmenya dengan mengatakan, “Satu-satunya prinsip penting untuk menjaga umat Islam adalah persatuan. Kami setelah revolusi 1979 melakukan upaya untuk menyatukan umat Islam. ”

Inilah kesamaan pandangan antara dua tokoh besar tersebut, yang terlontar di awal dan di akhir pertemuan mereka. Sementara isi pertemuan itu sendiri lebih dominan dengan perdebatan keras dan responsif. Qardhawi di awal pembicaraan menyampaikan, agar pertemuan ini bisa melahirkan hasil konkrit dan praktis untuk mendekatkan antar pengikut Sunni dan Syiah. Menurutnya, sejumlah konferensi untuk mendekatakan Sunni dan Syiah yang telah dilakukan, nyaris tak menghasilkan apapun karena diskusi yang terjadi tidak pada titik masalah yang paling mendasar.

Qaradhawi lalu menyampaikan salah satu penyebab perselisihan paling utama adalah “penghinaan kaum Syiah terhadap para sahabat Rasulullah saw”. “Saya tidak bisa menyalami Anda jika kami memuliakan sahabat dan ummul mukminin Aisyah radhiallahu anhum, sedangkan Anda menista mereka dan mengatakan “la’anahumullah”. Qaradhawi juga menyebut beberapa tokoh Syiah yang mencaci para sahabat dan meminta Rafsanjani untuk secara tegas menanggapi referensi tersebut dengan mengatakan “haram hukumnya menghina para sahabat Rasulullah saw”.

Rafsanjani menanggapi dengan menolak bila dianggap Syiah saja yang bertanggung jawab atas masalah ini. Ia mengatakan, “Menurut saya, baik Sunni dan Syiah harus mengeluarkan fatwa yang mengharamkan penistaan para sahabat. Kita tidak mungkin mengambil referensi dari sebagian tafsiran kalangan Syiah dan menjadikannya sebagai sumber yang direkomendasi. Kami di Iran, memulai khutbah dengan Hamdalah dan shalawat atas Rasulullah, kepada para sahabat dan keluarga Rasulullah saw…”

Dialog Qardhawi-Rafsanjani juga menyentuh masalah krisis Sunni-Syiah yang terjadi di Irak. Menurut Qardhawi apa yang terjadi di Irak adalah pembunuhan dan pengusiran paksa atas kelompok Sunni dan pembakaran masjid mereka. Dan masih menurut Qaradhawi, Iran memiliki kunci untuk bisa menghentikan konflik antar etnik yang sangat memprihatinkan di Irak.

“Hampir semua orang sepakat bahwa Iran mampu secara efektif untuk meredakan masalah Irak. Iran memiliki kuncinya untuk itu. Iran bisa sangat efektif menyelesaikan masalah di Irak, ” tandas Qaradhawi.

Ia melanjutkan, “Jika Anda keluarkan fatwa yang jelas bahwa “unit kematian (firaq al-maut yang melakukan sejumlah aksi pembunuhan dan kekacauan), untuk tidak mengikuti pendapat yang membenci Sunni, pasti masalahnya akan selesai. Tapi kenapa juga tidak dikeluarkan fatwa untuk memerangi pasukan Amerika sampai sekarang dengan jelas?”

Ungkapan ini ditanggapi Rafsanjani secara diplomatik sebagaimana negarawan. Ia mengatakan, “Saya sarankan kepada Qaradhawi untuk memastikan informasi yang diperoleh dan menyampaikan kepada para pemimpin di Irak tentang masalah ini. Ketika itulah dia akan tahu bahwa apa yang ia sampaikan tidak sesuai dengan Iran. Berapa banyak tokoh Iran yang juga mengecam dan menolak apa yang terjadi di Irak? Kita harus memulai dengan siapa yang pertama kali memicu konflik etnik berupa pembunuhan tokoh Syiah Muhammad Baqir Al-Hakim setelah ia pulang dari Iran ke Irak pasca ekspansi pasukan Amerika?”

Terkait masalah fatwa, Rafsanjani mengatakan, “Mungkin harus saya tegaskan kembali bahwa saya telah melarang pembunuhan itu. Seluruh ulama dan pemerintah di Iran menganggap apa yang terjadi di Irak adalah kriminal, dan itu haram dilakukan, serta termasuk kemaksiatan. Kami mendukung perlawanan menentang penjajah dan kami telah sampaikan itu berulang kali…”

Demikian sepotong dialog panjang yang terjadi antara Qaradhawi dan Rafsanjani. Pertemuan dialog ini diinspirasikan dari ungkapan Qaradhawi saat ia menyampaikan sambutan dalam dialog antar madzhab Islam di Dhoa beberapa waktu lalu. Meski ada beberapa titik perdebatan yang masih belum secara konkrit menghasilkan sesuatu yang menjadi solusi atas perbedaan, namun keduanya sepakat dengan pentingnya persatuan. Entah kapan kesepakatan ini berbuah secara nyata sehingga bisa membangun kekuatan umat menghadapi konspirasi pecah belah yang dilakukan kalangan yang membenci persatuan umat Islam. (na-str/iol)