Paket Penyelamatan Ekonomi Dunia, Siapa yang Diuntungkan?

Dalam wawancara dengan Fox Business Network, Menteri Keuangan AS, Henry Paulson mengungkapkan penyesalannya atas krisis keuangan global yang terjadi, yang dimulai dari AS. Ia pun berjanji bahwa AS akan meredam dampak krisis pada sektor riil dan akan memulihkan kembali sistem keuangan.

"Kami tidak bangga dengan semua kesalahan yang telah kami perbuat dan kegagalan dalam regulasi sistem keuangan kami, kegagalan untuk mendisiplinkan pasar, sehingga membawa kami ke situasi sekarang ini," kata Paulson.

Pengakuan Paulson bisa jadi sangat istimewa, karena belum ada pejabat pemerintahan AS yang mengakui "kesalahan" mereka dalam mengelola perekonomian sehingga terjadi krisis keuangan, yang menimbulkan ancaman resesi ekonomi dunia.

Pernyataan Paulson makin memperkuat fakta bahwa krisis di Wall Street terjadi karena ulah manusia, terlepas dari alasan salah perhitungan, kerakusan, kesalahan menyeluruh dalam sistem kapitalis AS dan alasan-alasan lainnya. Yang jelas, krisis keuangan global yang berawal dari AS ini, memaksa pemerintahan negara-negara besar seperti AS, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya mengucurkan dana yang jumlahnya tidak tangung-tanggung untuk menyelamatkan perekonomian negara mereka.

AS mengucurkan dana sebesar 700 milyar dollar untuk paket penyelamatan ekonominya, Inggris sebesar 680 milyar dollar sementara untuk wilayah Eropa jumlah kucuran dananya mencapai 1.370 milyar dollar. Melihat besarnya kucuran dana penyelamatan, hampir semua pakar keuangan di media-media massa mengatakan bahwa itu adalah gambaran skala krisis yang terjadi.

Paket Penyelamatan Ekonomi, Buat Siapa?

Tapi untuk menyelamatkan siapa sebenarnya kucuran dana ratusan milyar dollar itu, menyelamatkan si kaya atau si miskin yang terkena dampak krisis keuangan global? Ramzy Baroud, penulis dan editor di PalestineChronicle.com mengkritisi persoalan ini. Dalam tulisannya berjudul "Bailing Out Rich, Starving Poor to Death", Baroud mengkritik kebijakan bail-out yang dilakukan AS dan sejumlah negara Eropa yang dinilai berstandar ganda.

Ia mengatakan, kebijakan pemerintahan Bush dan pemerintahan negara-negara besar di Eropa yang dengan entengnya melakukan nasionalisasi institusi-institusi keuangan besar ketika terjadi krisis. Menunjukkan adanya pergeseran dalam penerapan sistem perekonomiannya. Seperti China yang menjalankan sistem kapitalisme dibalik simbol-simbol komunis, AS, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya makin menjadi sosialis yang bersembunyi dibalik simbol-simbol kapitalis. Tetap konsep sosialis yang digunakan bukan ditujukan untuk kaum tertindas, tapi untuk kesejahteraan perusahaan-perusahaan besar. Hal ini, kata Baroud, jelas terlihat dari manifestasi kebijakan-kebijakan bail-outnya.

"Tidak ada alasan untuk meragukan komitmen Paulson terhadap sistem keuangan. Tapi sebenarnya, pemerintah AS dan kebanyak pemerintahan negara-negara di dunia akan membuktikan komitmennya jika masalahnya terkait dengan kepentingan orang-orang kuat dan kaya, yang kekayaan dan pengaruhnya sangat besar," tulis Baroud.

Argumen yang selalu digunakan untuk membenarkan kebijakan pemerintah itu, bahwa dampak penyelamatan akan bisa dirasakan sampai ke kalangan bawah, seperti istilah yang digunakan penulis pidato mantan presiden AS Ronald Reagan yaitu "apa yang baik untuk kalangan kaya, pada akhirnya akan baik untuk kalangan miskin". Sehingga, ketika kalangan masyarakat elit mendapatkan apa yang disebut dalam konsep "Reaganomics’ itu, kalangan miskin masih belum merasakan manfaatnya.

Pertanyaannya, mengapa harus melakukan bail-out untuk menyelamatkan kalangan kaya demi kalangan miskin, sementara sebenarnya pemerintah bisa dengan mudah menyelamatkan kalangan miskin tanpa harus melakukan bail-out besar-besaran?

Faktanya, pemerintahan Bush dan pemimpin negara-negara Eropa lainnya tidak memikirkan orang-orang miskin di negerinya, apalagi di negara lain, sementara para pemimpin negara itu terus melakukan pertemuan dan menawarkan paket-paket penyelamatan ekonominya. Jika mereka benar-benar mengkhawatirkan masalah kemanusiaan yang akan timbul akibat krisis yang terjadi, para pemimpin negara itu menurut Baroud selayaknya mempertimbangkan, misalnya data yang dilansir lembaga pangan Oxfam yang berbasis di Inggris.

Yang Miskin Makin Miskin

Oxfam menyebutkan, saat ini ada sekitar 967 juta orang yang mengalami kelaparan dan ada 2,7 milyar orang yang pendapatan perharinya kuran dari 1 poundsterling. Oxfam juga menyatakan bahwa 80 persen pendapatan digunakan untuk membeli makanan. Sementara itu menurut data Care Internasional, dipekirakan 220 juta orang dari 2,7 juta orang yang pendapatannya dibawah 1 poundsterling per hari, sedang terancam mengalami kelaparan.

Menurut Oxfam, penyebab utama kemiskinan dunia juga akibat ulah manusia. Mislanya, kebijakan biofuel, tingginya harga bahan bakar, meningkatnya permintaan global, aturan perdangan dunia yang tidak adil dan perubahan iklim.

Jauh sebelum krisis keuangan Wall Street, sudah terjadi krisis yang lebih berbahaya yaitu krisis pangan dunia. Saking buruknya krisis pangan yang terjadi hingga disebut sebagai sebuah "badai yang sempurna". Krisis ini dalam perjalanannya bukan hanya mempengaruhi standar hidup, tapi juga nyawa jutaan penduduk dunia.

"Menurut data terakhir, akibat krisis pangan, orang yang kekurangan gizi bertambah jumlahnya sebesar 119 juta orang, sehingga hampir satu milyar orang saat ini mengalami gizi buruk. Itu artinya, satu dari tujuh orang mengalami kelaparan. Sangat sulit dimengerti mengapa dunia sampai pada titik seburuk ini," tulis Barbara Stocking di New Statesman.

Sungguh mengherankan kebijakan yang diambil negara-negara maju, yang menghabiskan triliunan dollar untuk menyelamatkan institusi keuangan. Bandingkan dengan komitmen dana untuk mengatasi krisis pangan yang disepakati di Roma belum lama ini, jumlahnya hanya 12,3 milyar dollar dan dari jumlah itu baru 1 milyar dollar yang sudah dicairkan. Dengan jumlah seminim itu, dunia berharap kemiskinan sudah bisa dikurangi hingga akhir tahun 2015. Sebuah harapan yang tidak realistis, bukan karena kurangnya sumber daya tapi kurangnya kepedulian yang dalam terhadap masalah kemiskinan dunia. (ln/iol)