Penjajahan AS, Jadikan Kota Kabul Sebagai Kota "Para Janda"

Invasi AS ke Afghanistan makin melunturkan kehidupan Islami di negara itu dan menimbulkan penderitaan bagi kaum perempuannya. Peperangan menyebabkan kaum lelaki, para suami di negeri itu banyak yang tewas sehingga banyak para isteri yang kini menjanda dengan kondisi kehidupan yang memprihatinkan.

Kota Kabul ibarat kota para janda. Ironisnya, kondisi ini seperti tertutup oleh makin maraknya kehidupan bergaya Barat di kota Kabul. Di ibukota Afghanistan ini, kini banyak berdiri pusat-pusat perbelanjaan, bar dan restoran-restoran Prancis yang melayani kebutuhan para pekerja asing dan warga negara asing kaya yang tinggal di Afghanistan.

Maria Akrami, seorang pekerja sosial di sebuah LSM di Kabul mengeluhkan kondisi ini. "Kalau Amerika menginvasi kami untuk membebaskan kaum perempuan kami, kondisi ini adalah pertanda jelas bahwa mereka sudah gagal dengan sangat menyedihkan, " kata Akrami seperti dikutip The Independent edisi Kamis (17/5).

Menurutnya, hampir di seluruh pelosok kota terlihat kaum perempuan-kebanyakan janda yang para suaminya tewas saat invasi AS tahun 2001-menjadi pengemis di jalan-jalan. Saat ini diperkirakan ada dua juta janda di Afghanistan, sejak invasi AS ke negeri itu.

Seorang gadis remaja berusia 16 tahun bernama Seema pesimis kondisi kehidupan mereka akan berubah. "Ibu saya adalah pengemis, pemerintah tidak peduli pada kami. Mereka tidak menolong kami, tak ada yang berubah dalam hidup kami di Aghanistan yang baru ini, " keluh Seema.

Seema dan saudara perempuannya Zeba, tinggal di sebuah flat sederhana di sebuah gedung yang sebagiannya sudah runtuh dan menjadi puing akibat serangan bom, tanpa pemanas dan persediaan air bersih. Padahal pada saat musim dingin, temperatur di kota Kabul bisa mencapai minus 17 derajat celcius.

Ayah kedua remaja ini tewas ketika tentara AS menyerang rumah mereka pada tahun 2001. Mereka kini kehilangan harapan dan cita-cita untuk menjadi guru. Untuk bertahan hidup, Ibu mereka sudah berangkat pagi-pagi sekali, untuk mengemis di jalan-jalan di kota Kabul.

"Kalau saya sedang beruntung, saya bisa mendapatkan uang sebesar 50 afghanis (satuan mata uang Afghanistan), cukuplah untuk membeli dua potong roti, " kata Seema yang mengaku sering mendapat perlakuan buruk dari para lelaki di jalan.

Padahal ketika AS melancarkan invasinya ke Afghanistan pascaperistiwa 11 September, Negeri Paman Sam itu menjajikan kehidupan yang lebih baik dan maju bagi rakyat Afghanistan. Tapi nyatanya, tingkat pengangguran di negeri itu makin tinggi, mencapai 40 persen dan banyak rakyat Agfhanistan yang hanya bekerja serabutan. Mereka bekerja hanya beberapa jam dalam seminggu atau bekerja kalau hanya ada pekerjaan saja.

Aghanistan masih menjadi negara yang terbelakang dan tertinggal dari sisi pembangunan. Rakyat Aghanistan banyak yang tidak mendapatkan akses air bersih, listrik dan pemanas ruangan. Pendapatkan per kapita negeri ini paling rendah di seluruh dunia, yaitu hanya 125 pounsterling per tahun.

Saat ini, ada sekitar 50 ribu kaum perempuan Afghan yang jadi pengemis di jalan-jalan di kota Kabul. Mereka rata-rata hidup dalam kondisi yang menyedihkan. Tinggal di gedung-gedung yang tak lagi layak dihuni dan hanya mendapatkan jatah listrik beberapa jam saja setiap malam.

"Perempuan-perempuan ini tidak berpendidikan, tidak punya keahlian dasar bekerja dan tidak mampu untuk melindungi dirinya sendiri. Seharusnya pemerintah menjadikan masalah ini sebagai prioritas utama, " kata Akrami. (ln/iol)