Setahun di Bawah Kepemimpinan Hamas, Apa Kata Warga Ghaza?

Setahun sudah Hamas menguasai Jalur Ghaza, setelah otoritas Palestina pimpinan Mahmud Abbas mengkhianati pemerintahan koalisi di Palestina antara Fatah dan Hamas. Selama setahun itu pula, Hamas dan warga Palestina di Ghaza mendapat tekanan berupa embargo dan isolasi tanpa ampun dari rezim Zionis Israel dan sekutu-sekutu Baratnya, sehingga menimbulkan krisis kemanusiaan terburuk di wilayah itu.

Namun hingga kini, Hamas tetap eksis dan warga Ghaza masih bertahan hidup dengan segala keterbatasan. Mereka mengungkapkan beragam komentar tentang perasaan mereka berada di bawah ‘pemerintahan’ Hamas selama setahun ini.

Mahmud Sarsour, pemuda berusia 26 tahun yang sehari-harinya berdagang pakaian dalam menilai apa yang dilakukan Hamas dengan mengambilalih Ghaza adalah tindakan yang benar. "Saya pikir Hamas seharusnya melakukan ini, saat pertama kali Hamas melihat Fatah, Israel, AS dan komunitas dunia tidak mau menerima kemenangan Hamas di parlemen, " ujar Sarsour.

"Apalagi setelah itu, majalah AS Vanity Fair mengungkap adanya konspirasi antara pemerintahan Abbas dan AS untuk menggulingkan Hamas, " sambungnya.

Sarsour mendukung Hamas untuk tetap memegang kontrol di Jalur Ghaza, untuk menghentikan aksi-aksi penculikan, gangguan keamanan, pembunuhan dan bentrokan senjata dengan Israel, yang hampir setiap hari terjadi di Jalur Ghaza. Ia juga pesimis, Israel akan mencabut blokadenya terhadap Jalur Ghaza jika Hamas mundur.

"Israel sudah memblokade kami sebelum Hamas mengambilalih Jalur Ghaza. Oleh sebab itu, saya menyerukan mereka yang menginginkan Hamas mundur dari Ghaza, agar ingat bahwa Israel telah melakukan blokadenya sejak pemilu parlemen yang dimenangkan Hamas, bukan ketika Hamas mengambilalih wilayah ini, " tandas Sarsour.

Warga Ghaza lainnya, Muhammad al-Hajj, 39, berbeda pendapat dengan Sarsour. Menurutnya, tindakan Hamas mengambilalih Ghaza tidak bisa dibenarkan, karena telah menyebabkan banyak orang dipenjara dan mereka dibunuh di dalam penjara. Selain itu, menyebabkan Palestina terpecah belah dan menjadi kendala proses perdamaian antara Palestina-Israel.

"Saya mengharapkan mereka untuk mundur dan biarkanlah warga Ghaza menjalani kehidupannya. Hamas telah merusak kehidupan di Ghaza dan menjadi penyebab blokade serta serangan terus menerus dari Israel. Saya yakin, begitu Hamas mundur, Israel akan mencabut isolasinya, " kata al-Hajj yakin.

Al-Hajj yang berprofesi sebagai guru juga menilai berita konspirasi untuk menggulingkan Hamas yang diungkap majalah Vanity Fair adalah berita bohong dan tujuannya hanya untuk menyebarluaskan ideologi Hamas.

Tapi bagi Rajab al-Gayed, 45 tahun, warga Ghaza yang terpaksa menjadi pengangguran, berita di majalah Vanity Fair membuktikan apa yang selama ini diperjuangkan Hamas dan membuatnya bisa bersikap sabar menjalani kondisi yang serba sulit di Ghaza.

Al-Gayed juga menginginkan Hamas tetap berada di Ghaza, jika kesepakatan gencatan senjata tercapai dan Israel mencabut blokadenya. Baginya, ada sisi positif dan sisi negatif dari pengambilalihan Jalur Ghaza oleh Hamas.

"Dari sisi keamanan dan perdamaian internal tindakan Hamas benar, tapi salah jika dilihat dari sisi ekonomi dan kesejahteraan, " kata al-Gayed. (ln/iol)