Ulama di AS Desak Pemerintah Bush Kaji Ulang Kebijakan yang Rugikan Warga Muslim

Ulama terkemuka Imam Hasan al-Qazwini mendesak pemerintah AS untuk mengkaji ulang kebijakan keamanannya, terutama pada warga Muslim AS yang sudah diperlakukan secara tidak adil. Sementara itum seorang pelajar Muslim asal Inggris dikenakan pembayaran ekstra untuk keperluan pemeriksaan keamanan ketika mengajukan permohonan visa berkunjung ke AS, hanya karena namanya Muhammad.

Al-Qazwini, ulama Syiah dari Islamic Center of America di Dearborn mengungkapkan, kebijakan yang harus dikaji ulang itu meliputi kebijakan yang mengakibatkan perlakuan tidak adil terhadap warga Muslim, seperti kebijakan penyadapan, kebijakan yang menyangkut hak-hak sipil, imigrasi dan Patriot Act.

"Saya sangat berharap pemerintah AS dan pemerintahan yang sekarang, yang kerap bersikap keras terkait dengan hal-hal yang menyangkut kewibawaan komunitas Muslim, mau mengkaji ulang kebijakannya dan melakukan pendekatan yang lebih bersahabat terhadap komunitas Muslim," kata al-Qazwini dalam wawancara dengan Reuters.

Kota Dearborn yang berada di wilayah Detroit, merupakan salah satu tempat yang komunitas warga Muslimnya cukup besar di AS.

Al-Qazwini, ulama kelahiran Irak yang kini menjadi warga negara AS ini, sering melakukan pembicaraan dengan pejabat pemerintah AS. Ia memuji upaya yang dilakukan pemerintah AS yang membuat program dialog secara berkala dan berkelanjutan dengan para pemuka Islam di negeri itu.

"Kami, warga Muslim menginginkan pertemuan-pertemuan yang substansial di mana kami bisa menghasilkan sesuatu, bukan hanya sekedar foto bersama dengan para pejabat pemerintah ketika kami mengadakan pertemuan. Mereka memotret kami, mereka memeluk kami, kadang kami dijamu makan pagi atau makan malam, tapi setelah itu, tidak ada perubahan," kritik Qazwini.

Muslim Radikal di AS

Qazwini mengakui ada segelintir orang yang berpola pikir ‘ekstrim’ dalam komunitas Muslim di AS, namun jumlahnya sangat kecil. Menurutnya, meski kelompok ini mendukung pandangan-pandangan yang radikal, namun mereka tidak menganjurkan tindak kekerasan dan tidak mewakili seluruh warga Muslim pada umumnya.

Qazwini mengeluhkan bahwa warga Muslim sekarang selalu dalam posisi di mana orang memandang mereka dengan curiga. "Kami muak dan lelah dengan kenyataan bahwa kami selalu harus membuktikan kesetiaan kami pada negara ini, hanya karena orang lain yang melakukan serangan terhadap negara ini," keluhnya.

Qazwini yang juga menjadi kepala sebuah masjid besar di AS, mengkritik tidak konsistennya pemerintah AS terhadap upaya dialog dengan umat Islam, karena beberapa waktu lalu masih memberlakukan larangan terhadap kedatangan Tariq Ramadhan, salah seorang intelektual Muslim terkenal.

Kritikan serupa juga disampaikan oleh hakim federal AS yang menilai pemerintahan Bush tidak konsisten dalam menangani masalah pengajuan visa Ramadhan.

Kasus ini diperkarakan oleh American Civil Liberties Union (ACLU), organisasi hak asasi sipil di AS. ACLU menuding para pejabat pemerintah AS telah melakukan kesalahan karena menolak masuknya Ramadan ke AS atas dasar undang-undang Patriot Act.

Kasus Muhammad

Sikap setengah hati AS untuk menjalin hubungan baik dengan warga Muslim tercermin dari kasus seorang warga Muslim Inggris Muhammad Umar Halim Khan, 22 tahun. Mahasiswa di Manchester Metropolitan University ini, dikenakan pembayaran ekstra sebesar 80 dollar AS untuk keperluan pemeriksaan keamanan saat mengajukan visa kunjungan ke AS, hanya karena namanya Muhammad.

BBC Online melaporkan, oleh pihak kedutaan besar AS di London Halim Khan diberitahu bahwa banyak ‘orang jahat’ yang memakai nama Muhammad seperti namanya.

"Saya betul-betul kehilangan kata-kata. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Sekarang, saya khawatir kemungkinan tidak mendapatkan visa dan tidak bisa berkunjung ke AS gara-gara nama saya," kata Halim Khan yang berencana untuk bekerja di proyek Camp America di Philadelphia.

Muslim Council of Britain sudah melayangkan kritikannya ke kedutaan besar AS. "Ini merupakan insiden yang mengkhawatirkan dan kelihatannnya sesuai dengan pola di mana AS memperlakukan semua umat Islam sebagai orang yang berpotensi melakukan tindakan terorisme hanya karena agama mereka," kata juru bicara MCB, Inayat Bunglawala.

"Para pegawai di kedutaan besar AS benar-benar harus ditraining untuk memahami dasar-dasar budaya Islam agar hal semacam ini terulang lagi," katanya. (ln/iol)