VIDEO – Warga Uyghur di AS Desak Rezim Komunis Segera Bebaskan Adiknya

Kewser Wayit, seorang etnis Uyghur berusia 26 tahun dari wilayah perbatasan Cina, Xinjiang [@KewserWayit/Twitter]
Eramuslim.com – Dua bulan lalu, setelah mengonfirmasikan bahwa saudara perempuannya yang berusia 19 tahun telah ditahan rezim komunis Cina, Kewser Wayit, yang tinggal di Amerika Serikat, bergegas menelepon keluarganya di Kota Artush, Xinjiang selatan.

Namun, panggilan yang tak terhitung jumlahnya ke petugas keamanan nasional Tiongkok, yang bertanggung jawab menghubungkan dia dan keluarganya, langsung terputus. Dia terus mencoba menelepon lagi dan lagi, tetapi hasilnya selalu sama.

“Saya berulang kali menelepon kantor (keamanan Tiongkok) selama lebih dari seminggu, untuk mengonfirmasikan bahwa saudara perempuan saya telah diambil, tetapi tidak ada panggilan atau SMS yang dijawab,” jelas Kewser.

“Pertama, mereka mengambil ayah saya, dan sekarang, saudara perempuan saya. Saya harus angkat bicara sekarang.”

Kewser, seorang etnis Uyghur berusia 26 tahun, meninggalkan tanah airnya dan pindah ke AS pada tahun 2013. Ketika dia kembali sejenak ke Xinjiang di musim panas 2016, dia tidak menyangka bahwa itu akan menjadi kunjungan terakhirnya, serta awal dari cobaan yang akan menerpa keluarganya.

Tahun 2017, ayahnya tiba-tiba ditangkap dan dipenjara di pusat penahanan; sebelum dipindahkan secara paksa ke kamp konsentrasi di Xinjiang, tempat lebih dari satu juta etnis Muslim minoritas ditahan secara sewenang-wenang oleh rezim komunis Cina.

“Saya pikir ayah saya hanya akan berada di sana sebentar untuk tujuan interogasi karena tidak ada alasan di balik penangkapannya. Namun, mereka akhirnya menahannya selama dua tahun,” ujar Kewser.

Keluarganya kemudian diberitahu oleh otoritas setempat bahwa perjalanan bisnisnya selama 10 hari ke Turkiye telah menimbulkan kecurigaan serius terhadap kegiatan separatisme sehingga dia ditahan.

Oleh rezim Cina, warga Uyghur dilarang bepergian ke 26 ‘negara sensitif’, yang sebagian besar berpenduduk mayoritas Muslim; termasuk Mesir, Turkiye, Arab Saudi, dan Malaysia.

“Itu adalah waktu yang menakutkan; saya merasa sangat tidak berdaya. Saya mulai kehilangan antusiasme di sekolah karena depresi. Saya mulai mempertanyakan apa gunanya belajar jika saya bahkan tidak bisa membantu keluarga? Saya meninggalkan olahraga juga; dulu saya menggeluti atletik, tetapi rasanya sia-sia.”

“Saya bukan satu-satunya yang menderita; saya punya teman sekelas dan teman Uyghur lainnya yang juga diberitahu tentang anggota keluarganya yang menghilang ke dalam kamp.”

“Ayahku berubah,” lanjut Kewser, “ketika dia pada akhirnya dibebaskan pada tahun 2019, di mana dia telah dirawat di rumah sakit dua kali karena tekanan darah tinggi, kesehatannya sudah sangat memburuk. Dia terlihat begitu kurus dan kehilangan banyak rambut. Dia juga mulai menderita sakit kepala terus-menerus dan memiliki masalah di jantungnya.”

“Namun, dia tidak bisa membicarakannya dengan saya. Dia tidak bisa menceritakan apa yang dia alami di dalam karena panggilan WeChat kami terus dipantau.”

Tersiksa oleh penderitaan diam-diam ayahnya, Kewser mengunggah video kesaksiannya pada bulan September 2019 bersama dengan Gene Bunin, pendiri Xinjiang Victims Database, platform yang berisi data lebih dari 50.000 warga Uyghur yang dipenjara, ditahan, atau tidak ditemukan di Xinjiang.

Langkah itu seketika membuatnya kehilangan komunikasi dengan setiap anggota keluarganya.

“Ketika saya berulang kali menelepon kantor polisi di tempat asal saya, mereka terus menutup teleponnya. Setelah hampir 100 panggilan, mereka baru menghubungkan saya dengan Direktur Keamanan Nasional di Artush, yang akhirnya pergi ke rumah kami dua kali pada tahun 2022 dan mengizinkan saya untuk berbicara dengan keluarga saya.”

“Saudara-saudara saya tidak diizinkan untuk menelepon. Dan pada dua kali (kesempatan) itu, saya diminta untuk tetap diam dan tidak terlibat dalam aktivitas politik di AS,” ujarnya.

Beberapa bulan setelah panggilan tersebut, saudara perempuan Kewser, Kamile Wayit, menempuh jenjang perguruan tinggi fakultas pendidikan di sebuah universitas di Provinsi Henan, Cina Tengah.

Meskipun telah dihapus dari daftar kontak WeChat, sebuah aplikasi media sosial Cina, sebagai langkah kehati-hatian, Kewser masih dapat melihat postingan terbaru adiknya.

Suatu hari, adiknya mengunggah dukungan terhadap “revolusi kertas putih”, aksi yang ketika itu ramai dilakukan untuk menyerukan diakhirinya langkah-langkah lockdown Covid yang tak manusiawi di Cina. Setelah itu, ayahnya mendapat telepon peringatan dari polisi Cina.

Sekembalinya Kamile ke Xinjiang untuk liburan musim dingin, ia ditangkap oleh polisi. Namun, karena larangan komunikasi dengan keluarganya, Kewser tidak mengetahui penahanan saudara perempuannya tersebut.

Baru setelah dia menyadari tidak adanya unggahan baru di akun WeChat Kamile sejak 12 Desember, dia mulai mempertanyakan keberadaannya. Dia segera menghubungi teman-temannya dan menelepon kantor polisi di Xinjiang untuk memastikan bahwa saudara perempuannya telah ditangkap.

“Mereka tidak memberikan alasan penahanan yang jelas, tetapi bisa jadi karena komunikasi saya dengannya atau postingan yang dia bagikan tentang “gerakan kertas putih”. Saya khawatir dengan kesejahteraan orang tua saya, jadi sekali lagi, saya mencoba menghubungi Kantor Keamanan Nasional Cina. Namun, mereka mengabaikan panggilan dan pesan saya. Kemudian, saya akhirnya membuat keputusan untuk tidak lagi diam.”

Dalam sebuah video pendek yang diposting di Twitter, Kewser bersuara lantang kepada Partai Komunis Cina, “Adik perempuan saya yang berusia 19 tahun, Kamile Wayit, telah ditahan oleh polisi Kota Artush setelah kepulangannya ke rumah. Dia tidak bersalah dan tidak melakukan kejahatan. Saya mendesak pihak berwenang Cina untuk segera membebaskannya dan membiarkan dia berbicara kepada saya.”

“Saya tidak ingin membayangkan apa yang saudara perempuan saya alami; dia sudah cukup menderita selama penahanan ayah saya. Saya khawatir dan merasa bersalah, tetapi sekarang tidak ada lagi yang menjadi penghalang; saya akan aktif dan angkat bicara mulai saat ini.”

“Saya tidak akan berhenti sampai dia bebas,” tegasnya.

[sumber: sahabat al aqsha]