Warga Irak: Pasukan AS Tidak Lebih Sebagai Pasukan Pembunuh Warga Sipil

Bagi warga Irak, serdadu AS tidak lebih sebagai pembunuh warga sipil, sejak invasi mereka ke negeri itu pada 2003.

Kasus pembunuhan terhadap dua keluarga Irak yang dilakukan oleh tentara marinir AS di kota Haditha, sebelah barat Irak pada bulan November lalu, hanya sebagian kecil dari kasus-kasus pembunuhan paling buruk yang pernah dilakukan tentara AS terhadap warga Irak.

"Tentara-tentara AS sudah sangat ahli dalam melakukan pembunuhan," kata Abdul Salam Al-Qubaisy, juru bicara Sunni Association of Muslim Scholars (AMS). Menurutnya, peristiwa Haditha adalah bagian dari tingkah polah tentara AS di Irak.

"Kasus itu harus dilihat sebagai kejahatan perang dan para komandannya harus diadili," tegas Al-Qubaisy mengomentari kasus Haditha.

Warga Irak lainnya, Salah Muhammad mengatakan, aksi-aksi kekerasan seperti yang terjadi di Haditha menjadi hal yang biasa terjadi di Irak. Ia menyalahkan kehadiran tentara AS yang telah menyebabkan ketidakamanan di negerinya.

Buat warga Haditha, peristiwa yang terjadi di kotanya akan menjadi peristiwa kelam yang tak terlupakan. Mereka menyaksikan bagaimana serdadu-serdadu AS membunuh dua keluarga sekaligus, termasuk perempuan dan anak-anak dengan cara menembaki mereka. Peristiwa ini dilatar belakangi oleh peristiwa tewasnya seorang anggota marinir AS akibat bom yang dipasang di jalan pada 19 November tahun lalu.

Sayangnya, media mssa dan para politisi di Irak kurang memberikan perhatian pada peristiwa-peristiwa semacam ini, karena mereka sudah menjadi terbiasa melihat aksi-aksi kekerasan yang terjadi hampir setiap hari. Hanya segelintir orang saja yang masih peduli dan menuntut pemerintah AS mengadili serdadu-serdadunya yang membunuh warga sipil.

"Pasukan AS telah melakukan kejahatan terhadap rakyat Irak dan jumlahnya lebih banyak daripada yang muncul di media," kata seorang pengacara bernama Abd Muhammad Falah.

Apa yang dikatakan Muhammad Falah diperkuat oleh Imad Muhammad, remaja penjual koran di sebuah perempatan jalan di kota Baghdad. Penjuala koran itu mengatakan tidak pernah melihat kasus Haditha muncul di halaman depan koran.

"Orang-orang Amerika melihat seorang Muslim pergi masjid dan mencurigainya sebagai teroris. Mereka tinggal menangkapnya atau menembaknya," kata Muhammad.

Seperti warga Irak lainnya, Muhammad Jawdat,47, masih bisa mengingat sebuah peristiwa di mana ia melihat pasukan AS menembaki warga sipil. "Enam bulan lalu, sebuah mobil disuruh berhenti oleh konvoi tentara AS dan seorang tentara langsung menembaki mobil itu," kisah Jawdat.

"Sopirnya ditembak di bagian kepala dan orang yang berada di belakangnya juga dibunuh. Mereka tidak bersalah. Tidak ada tembakan peringatan dan orang-orang AS itu bahkan tidak berhenti menembaki. Polisi lalu membawa korban yang luka-luka itu," papar Jawdat.

Sengaja Ditutup-Tutupi

Militer AS bukannya tidak tahu apa yang telah dilakukan pasukannya di lapangan terhadap warga sipil Irak. Namun pemerintah maupun militer AS seolah tutup mata. Anggota Kongres AS John Murtha menuding militer AS sengaja ‘menutup-nutupi’ kasus-kasus pembunuhan terhadap warga sipil yang dilakukan pasukan AS.

"Tidak keraguan untuk itu," jawab Murtha ketika ditanya apakah ia yakin ada upaya menutup-nutupi kasus-kasus tersebut.

Murtha yang selama ini cukup vokal melontarkan kritik terhadap pemerintahan Bush, mengaku tidak tahu sampai sejauh mana upaya itu dilakukan. Namun ia meyakini, masalah ini terkait dengan rantai komando yang berlaku di kemiliteran, yang memerintahkan agar kasus-kasus tertentu tidak dipublikasikan.

"Siapa yang memerintahkan untuk menutup-nutupi? saya yakin buka Jenderal Pace. Tapi begini…. siapa yang memerintahkan bahwa kita tidak akan mempublikasikan kasus ini atau kasus itu?" kata Murtha setengah bertanya. Jenderal Pace yang dimaksud Murtha adalah Jenderal Peter Pace yang mengetuai kepala-kepala staf gabungan pasukan koalisi AS.

Lebih lanjut Murtha mengatakan, pembunuhan warga sipil Irak yang dilakukan pasukan AS telah merusak tujuan utama invasi AS ke Irak, dan masalah ini menurutnya, lebih buruk dibandingkan dengan skandal Abu Ghraib. (ln/iol)