Agenda Selamatkan Indonesia (Bag.4)

Pertemuan antara para ekonom suruhan Jenderal Suharto dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, Nopember 1967, membahas satu agenda sangat penting: penjajahan ekonomi dan politik Indonesia oleh Barat (baca: Yahudi). Indonesia diwakili Mafia Berkeley generasi pertama, juga Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Sedangkan para pengusaha multinasional antara lain adalah David Rockefeller.

Dr. Brad Sampson, saat meraih PhD dari Northwestern University AS menyusuri pertemuan ini dengan promotornya, seorang Indonesianis kritis bernama Prof. Jeffrey Winters. John Pilger dalam bukunya “The New Rules of the World” mengutip hasil penelitian Sampson tersebut. Inilah sebagian kutipannya:

“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’ (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), maka hasil tangkapannya itu dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss, yang dalam waktu tiga hari membahas strategi perampokan kekayaan alam Indonesia.

Para pesertanya terdiri dari seluruh kapitalis yang paling berpengaruh di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, dan sebagainya.”

Di seberang meja, duduk orang-orang Soeharto yang oleh Rockefeller dan pengusaha-pengusaha Yahudi lainnya disebut sebagai ‘ekonom-ekonom Indonesia yang korup’.

“Di Jenewa, Tim Indonesia terkenal dengan sebutan ‘The Berkeley Mafia’ karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai pengemis yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikannya yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.”

“Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi sektor demi sektor.” Prof. Jeffrey Winters menyebutnya, “Ini dilakukan dengan cara yang amat spektakuler.”

Jeffrey Winters melanjutkan, “Mereka membaginya dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar satunya, perbankan dan keuangan di kamar yang lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja lainnya, mengatakan, ‘Ini yang kami inginkan, itu yang kami inginkan, ini, ini, dan ini.’ Dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi. Tentunya produk hukum yang sangat menguntungkan mereka. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.”

Freeport mendapatkan gunung tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger, pengusaha Yahudi AS, duduk dalam Dewan Komisaris). Sebuah konsorsium Eropa mendapatkan Nikel di Papua Barat. Raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis berhak menebangi hutan-hutan tropis di Kalimantan, Sumatera, dan Papua Barat.

Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan terburu-buru disodorkan kepada Presiden Soeharto membuat perampokan negara yang direstui pemerintah itu bebas pajak untuk lima tahun lamanya (UU PMA Nomor 1/1967). Selama itu pula rakyat terus menerus dibohongi dengan idiom-idiom bagus tentang pembangunan, Pancasila, dan trickle down effect dan sebagainya namun pada kenyataannya terjadi pemiskinan rakyat banyak secara sistematis.

Elit kekuasaan menjadi satu kelas tersendiri yang hidup dalam kelimpahan dan kemewahan, hasil dari tetesan dollar yang berasal perampokan besar-besaran atas kekayaan alam bangsa ini. Mereka inilah cikal bakal kelas elit Indonesia yang terpusat pada Keluarga Cendana, yang sampai sekarang ini masih bisa menikmati kekayaannya dan bahkan di era reformasi saat ini tetap selamat, karena tokoh-tokoh muda yang mulai berkuasa di era reformasi ini ternyata sudi menjadi sahabat kroni-kroni Suharto tersebut ketimbang menyeret mereka ke muka pengadilan yang sesungguhnya.

Nyata tapi secara rahasia, kendali ekonomi Indonesia sesungguhnya telah pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah negara Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia, serta World Bank dan IMF (International Monetery Fund). Lagi-lagi komplotan Zionis Internasional.

Siapa kira, hanya berselang 38 tahun setelah “perjanjian iblis” antara Mafia Berkeley-nya Orde Baru dengan dunia imperialisme Barat, di pertengahan tahun 2005 Indonesia telah mengalami kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Walau Menteri Sumber Daya minyak Purnomo Yusgiantoro berkilah jika kelangkaan minyak lebih disebabkan terhambatnya proses distribusi Pertamina, namun faktanya, di sejumlah SPBU di Jakarta awal Juli 2005 telah mengalami defisit stock premium.

Data dari beberapa sumber yang bisa dipercaya mengungkapkan jika cadangan potensial minyak bumi Indonesia saat ini telah jauh berkurang dan tinggal untuk beberapa tahun lagi. Cadangan minyak bumi Indonesia diperkirakan akan habis tahun 2015, cadangan gas bumi sampai 2035, dan cadangan batubara hanya sampai tahun 2055. Krisis energi pada gilirannya akan menjadi kudeta energi dan national krisis yang sesungguhnya, yang didahului oleh krisis keimanan, krisis nurani, dan krisis akidah, di mana yang haram dijadikan halal dengan berbagai istilah dan pembenaran sehingga seolah-olah boleh dalam kacamata syariat.

Namun nurani yang bersih akan tetap bisa memilah, mana yang halal dan mana yang sesungguhnya haram namun “dihalalkan”. Mana yang berjuang menghidupi Islam, dan mana yang menumpang hidup dari Islam (baca: menunggangi umat).(bersambung/rd)