Dibalik “Kemenangan” Liberalis (4)

Sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1967 hingga sekarang adalah Kapitalisme. Dalam bahasa eufimisme, sering disebut sebagai Sistem Pasar, atau rezim SBY menyebutnya sebagai ‘Jalan Tengah’. Namun semuanya itu hanyalah nama lain dari KAPITALISME. Kapitalisme adalah the way of life-nya kaum Liberalis, kitab suci para ekonom NeoLib, dan juga para aktivis Liberal. Satu-satunya bahan bakar kapitalisme adalah sistem ribawi. Tanpa Riba, kapitalisme tidak akan bisa jalan. Sebab itu, Islam jelas dan tegas mengharamkan kapitalisme dengan segala strain-nya, sama seperti Islam menyikapi Komunisme. Kedua sistem ciptaan Yahudi ini, Kapitalisme dan Komunisme, haram hukumnya bagi orang Islam. Komunisme tidak mengakui eksistensi tuhan, sedangkan Kapitalisme menuhankan fulus. Dua-duanya sesat.

Kapitalisme Bukan Sekadar Sistem Ekonomi

Apa itu Kapitalisme? Ekonom Milton H. Spencer dalam Contemporary Macro Economics (1997) menyatakannya sebagai sebuah sistem organisasi ekonomi (perusahaan-perusahaan) yang dicirikan oleh hak milik privat atas alat-alat produksi dan distribusi (tanah, pabrik-pabrik, jalan raya, kereta api, sungai, laut, dan sebagainya) dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi penuh persaingan.

Sedang kata kunci kapitalisme adalah “Negara jangan ikut campur”. Hal ini berasal dari akhir abad ke-17 di Perancis saat Louis XIV berkuasa. Menteri Keuangannya, Jean Baptiste Colbert, bertanya pada seorang pengusaha bernama Legendre, bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha. Legendre menjawab, “Laissez nousfaire” (Jangan mengganggu kita, Leave Us Alone). Walau demikian, dewasa ini tidak ada satu pun negara di dunia ini yang menjalankan kapitalisme seperti aturan aslinya (Pure Capitalism), melainkan Mixed-Capitalism, termasuk Chief of Commander-nya Kapitalisme Dunia, Amerika Serikat (Kapitalisme Versus Sosialisme, Suatu Analisis Ekonomi Teoritis; Dr. Winardi, SE; 1986).

Kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi, banyak orang sudah tahu. Namun di tiap sistem ekonomi—karena ekonomi adalah landasan terbawah piramida peradaban—maka sistem ekonomi selalu melengkapi dirinya dengan pranata pendukungnya di dalam banyak bidang kehidupan seperti ideologi politik, psikologi massa, pendidikan, sosial budaya, bahkan hingga mengintervensi ruang privat keagamaan.

Kapitalisme tidak cuma mengindustrikan produksi ekonomi saja, tapi dia juga mengindustrikan semua bidang kehidupan masyarakat seperti industri berpikir, industri kebudayaan, industri santai, industri seni, industri pendidikan, industri keagamaan, dan sebagainya. “Sampai-sampai kebutuhan orang dimanipulasikan oleh industri sehingga orang membeli apa yang diharuskan oleh industri, bukan karena memang kebutuhannya sendiri. …Karena kehilangan otonominya, akal budi manusia menjadi alat yang netral belaka. Ia tidak berhak lagi memutuskan apakah suatu tindakan itu benar atau salah, baik atau buruk. Baik buruknya, benar atau salahnya tindakan seseorang diukur dari luar dirinya, apakah itu bernama norma-norma umum atau kecenderungan zaman yang diproduksi oleh mesin-mesin kapitalisme. Akal budi tinggal menyesuaikan diri kepada norma industri itu.” (Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern Oleh Max Horkheimer dalam rangka Sekolah Frankfurt; Sindhunata, ed; 1983).

Horkheimer menambahkan, “Di bidang sosial politik, pengebirian akal budi itu dengan mudah menumpulkan kemampuan masyarakat untuk menguak tabir manipulasi ideologi dan membongkar vested-interest terselubung kaum pemimpin.” (h.102)

Kapitalisme Ersatz untuk Indonesia

Di Indonesia, para penguasa (sipil maupun militer) dan pembuat kebijakan selalu berkolusi dengan para pengusaha. Penguasa dan Pengusaha. Dalam istilah Yoshihara Kunio (Kapitalisme Semu Asia Tenggara, 1990—sebuah buku yang dilarang beredar di masa diktatur Jenderal Harto berkuasa), kolusi ini disebut Kolusi “Ali-Baba”. Istilah “Ali” untuk menyebut para penguasa dan birokrat pribumi (sipil dan militer) yang berwenang membuat undang-undang dan peraturan,  sedang istilah “Baba” digunakan untuk menyebut para pengusaha besar di Indonesia yang memang didominasi pengusaha sipit.

Ali-Baba ini selalu berkolusi, bersimbiosis-mutualisma, dan menipu rakyat banyak demi kepentingan kelompok mereka sendiri. “Ali” membuat undang-undang dan peraturan agar “Baba” bisa leluasa dan bebas berusaha di sini.

Pada awalnya, birokrasi seperti yang dicita-citakan Max Weber, dibentuk untuk menyelesaikan suatu tugas seefektif dan seefisien mungkin. Namun di dalam prakteknya, birokrasi yang memang diberi kewenangan besar ini kemudian tumbuh menjadi satu kelompok tersendiri di dalam masyarakat yang malah menggunakan kewenangannya untuk mengeruk keuntungan finansil bagi diri dan keluarganya sendiri. Setiap urusan dinilai dengan sedikit-banyaknya keuntungan finansil yang bisa dikeruk. Semakin besar keuntungan finansil yang akan didapat, maka urusan akan lebih cepat selesai, ini juga berlaku sebaliknya.

Sosiolog Arief Budiman yang sudah lama mukim di Australia dalam salah satu bukunya “Krisis Tersembunyi Dalam Pembangunan, Birokrasi-Birokrasi Pembangunan” (1988, h.386-387) menulis, “…tumbuh kelas birokrat yang menguasai pebagai institusi pemerintahan. Beberapa ahli menyebut sebagai kelompok ‘Birokrat Kapitalis’. Yang disebut sebagai kelas birokrat-kapitalis adalah kelompok birokrat yang menggunakan kekuasaan birokrasinya untuk melakukan akumulasi modal, biasanya untuk kepentingan pribadinya.” Istilah Kapitalis-Birokrat ini pernah berjaya di Indonesia di tahun 1960-an (Kapbir) dan ironisnya malah disosialisasikan oleh PKI, untuk menghantam elit negara yang korup. Faktanya, Kapbir ini semakin banyak di negeri ini sekarang dan sebab itu ada istilah baru “Korupsi Gotong-Royong”.

Kolusi antara “Ali dan Baba” ini menyebabkan mereka tumbuh menjadi satu kelas elit negara, satu kelas masyaakat yang kaya raya, sejahtera, dan kehidupan serta kesadarannya teralienasi (terasing) dari rakyat kebanyakan yang tetap dalam kemiskinan dan kemelaratan. Mereka hanya memerlukan rakyat banyak jika hal itu akan mendatangkan keuntungan bagi kelompoknya, semisal lima tahun sekali dalam apa yang mereka sebut sebagai “Pesta Demokrasi”. Setelah itu, rakyat tidak lagi diperlukan dan dicampakkan. Penipuan massal dan dusta lewat berbagai media massa yang dikuasainya adalah senjata kelompok penguasa untuk bisa menipu rakyat banyak.

Sebab itu mereka sangat berkepentingan agar rakyat banyak tetap dalam kebodohan, tetap dalam ketololannya, tetap dalam ketaklidannya, agar semua yang sebenarnya dilakukan mereka, merampok uang rakyat, tidak digugat oleh rakyat. Rakyat banyak harus tetap dibuat bodoh, agar bisa terus menjadi pendukung setia mereka. Dalam hal ini titel kesarjanaan tidaklah penting, karena bisa jadi seorang sarjana tetap “jahil” dalam bidang politik, atau jahil dalam memenuhi suara hati nuraninya. Sebab itu ada peribahasa dalam bahasa Perancis, “La Republique n’a pas besain de savants”, Republik tidak membutuhkan ilmuwan.

Kapitalisme yang tumbuh di Indonesia, yang berangkat dari KKN antara “Ali dan Baba” merupakan Kapitalisme Semu, yang dalam bahasa Yoshihara disebut sebagai Ersatz-Capitalism. Indonesia menjadi ladang yang sangat subur bagi kapitalisme jenis ini sampai sekarang. Gerakan reformasi hanya menumbangkan seorang Harto namun memunculkan Harto-Harto baru, dan jauh lebih serakah, lebih buas, dan lebih tidak berkarakter.(bersambung/ridyasmara)