Dr. Tony Rosyid: 2019, Wis Wayahe Ganti Presiden

Video tentang doa Mbah Moen ini sempat viral di medsos dan jadi perbincangan publik. Media, baik elektronik, cetak maupun online seolah sedang dapat berkah. Tema doa Mbah Moen tinggi ratingnya. Di tengah polemik doa Mbah Moen, Gus Najih membuat closing dalam salah satu pidatonya: “Ayah saya tidak keliru dalam berdoa. Beliau memang sering berdoa untuk Pak Prabowo”. Kelar! Karena yang membuat statemen adalah sang putra tertua kedua dari Mbah Moen. Polemik berhenti. Dan memang sudah saatnya untuk berhenti.

Kata “Wis Wayahe” terus populer di kalangan masyarakat Jawa. Kata ini semacam bentuk antusiasme bahwa 2019 terjadi pergantian presiden. Jokowi lengser, Prabowo menggantikannya. Terjadi suksesi melalui pemilu yang sah.

Artinya, di pilpres 2019 ini Jokowi kalah, begitulah kesimpulan akhir dari narasi “Wis Wayahe” dari para santrinya Mbah Maemoen Zubair. Bagaimana menjelaskan optimisme itu?

Meski pemilu belum digelar, antusiasme dan harapan santri Sarang yang diungkapkan dengan kata “Wis Wayahe” sepertinya punya peluang besar. Ada tiga teori yang setidaknya bisa menjelaskan antusiasme para santri itu.

Pertama, militansi idelogis biasanya memenangkan pertempuran melawan kekuatan logistik. Pendukung 02 militan. Iuran dan saweran untuk kebutuhan logistik kampanye. Tidak hanya orang dewasa, mahasiswa dan wanita kecil seperti Gendis ikut saweran. Sementara 01 banjir logistik, baik untuk suatu acara atau dalam bentuk bagi-bagi sembako yang akhir-akhir ini masif menyerbu warga, dari jalan raya hingga ke gang gang rumah warga.

Kedua, meminjam teori Ibnu Khaldun, ketika penguasa “dianggap rakyat” telah melampaui batas kewajaran norma dan mengabaikan aturan, maka prilaku politiknya cenderung berpeluang menggerus simpati dan dukungan rakyat. Saat itulah besar peluangnya terjadi suksesi (pergantian).

Ketiga, silent majority. Dalam survei disebut dengan “undecided voters” yang jumlahnya cukup besar. Apalagi, dari sejumlah survei, termasuk yang dilakukan oleh Kompas, sebagaimana yang diungkapkan Sofyan Wanandi Senen malam 18 maret kemarin, elektabilitas petahana di bawah 50 persen. Ini bentuk nyata hukuman rakyat kepada petahana, kata Eep Syaefullah Fatah, CEO PolMark dan mantan penasehat politik Jokowi di 2014.

Jelas, ini indikasi bahwa kekecewaan dan kemarahan rakyat tak lagi bisa dikendalikan. Dalam sistem demokrasi, kemarahan itu akan tertumpahkan di TPS 17 April 2019. Pilgub DKI 2017 adalah representasi terbaik untuk menggambarkan silent majority. Ahok kalah telak, kendati survei selalu memanjakannya dengan angka-angka yang bombastis. Lebay!

Tiga teori ini bisa jadi referensi yang representatif untuk mengurai analisis semangat “Wis Wayahe” dalam konteks pilpres 2019. Akankah teriakan santri Al-Anwar Sarang ini akan jadi kenyataan? Kalau lihat hasil survei, peluang takdirnya makin membesar. Kabarnya, elektabilitas Prabowo-Sandi sudah menyalib dan memimpin di depan. Kita tunggu saja finalnya tanggal 17 April nanti. []

Jakarta, 19 Maret 2019

Penulis: Dr Tony Rosyid