Harga Listrik Rakyat Meroket, BPK Temukan Ada Pemborosan Rp.1,6 Triliun di PLN

Penanggung jawab pemeriksaan ini, Suparwardi menyatakan, pengadaan pembangkit bergerak berkapasitas 500 megawatt belum seluruhnya didukung pasokan bahan bakar gas.

Proyek pembangkit bergerak sendiri sudah dimulai oleh PLN pada Oktober 2015. Saat itu, PLN merencanakan pembangunan delapan unit pembangkit di Paya Pasir dan Pulau Nias (Sumatera Utara); Balai Pungut (Riau); Air Anyir dan Belitung-Suge (Bangka Belitung); Tarahan (Lampung); Pontianak (Kalimantan Barat); serta Jeranjang, Lombok (Nusa Tenggara Barat).

Namun, dari delapan pembangkit, hanya tiga yang memakai gas, sisanya memakai high speed diesel (HSD). Tiga pembangkit yang memakai gas adalah Paya Pasir, Balai Pungut, dan Tarahan.

Defiyan menambahkan, saat ini PLN tengah mengalami kelebihan penyediaan listrik akibat tidak terserapnya listrik secara optimal oleh pasar atau pelanggan. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur sektor industri non energi yang sangat lamban.

“Kelambanan ini juga dipengaruhi oleh keengganan investor, baik dalam negeri maupun luar negeri mengurus perizinan di birokrasi yang terlalu panjang dan berbelit-belit, sehingga membuat beban biaya awal yang tinggi (high cost) bagi investor dan pengusaha. Jelas sekali, berbagai paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan sebanyak 16 paket tak berjalan dan berlaku efektif,” papar akademisi asal Universitas Gajah Mada (UGM) ini.

Hal ini diperburuk dengan lambannya respon pemerintah untuk menanggulangi hal ini. Selain itu, lanjut Defiyan, pemerintah telah tercatat telah merevisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dengan sasaran 35.000 MW yang dinilainya terlalu ambisius di saat banyak proyek kelistrikan era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang mangkrak.