Negara Merugi, Jokowi Ikut Menikmati ?

Eramuslim – Klaim pemerintah soal kesuksesan divestasi saham Freeport Indonesia bukan cuma sarat pencitraan politik jelang Pemilihan Presiden 2019.

Harga pelepasan saham Rp 55 triliun adalah harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto beserta saham Freeport-McMoran di Freeport Indonesia. Hal ini sama saja menyelamatkan PT Freeport Indonesia.

Analis ekonomi konstitusi, Defiyan Cori, menegaskan, lebih baik pemerintah menyelesaikan Kontrak Karya pada tahun 2021.

“Lebih baik kontrak habis dan ambil alih. Nilai saham Freeport sudah anjlok, justru 51 persen itu membantu pihak PT Freeport untuk menaikkan nilai saham. Anehnya justru negara melalui BUMN Inalum yang berutang,” ujar Defiyan Cori kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (15/7).

Menurutnya, 51 persen itu hanya akan memperoleh imbal balik lewat pembagian laba dan lainnya sampai tahun 2041. Sementara, apabila negara mengambil alih setelah kontrak karya habis di 2021 maka negara akan memperoleh penguasaan 100 persen.

Selain itu, terkait kasus perpanjangan Kontrak Karya Freeport pada 1991, tak bisa dilepaskan dari sosok Ginandjar Kartasasmita yang menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) kala itu. Bila posisi negara telah terlanjur tidak begitu kuat, maka sebaiknya 51 persen yang akan didivestasikan lewat utang itu tidak dibebankan pada negara, dalam hal ini BUMN Inalum.

“Walaupun sejatinya posisi tawar perpanjangan ini posisi tawar pemerintah relatif kuat, hanya saja pemerintah harus melepaskan motif berburu rente dari pihak-pihak tertentu demi kepentingan kekuasaan di pemilu 2019,” jelasnya.