Neraca Perdagangan Jebol Bukti Jokowi Gagal Memenuhi Janji

Ia mencermati beberapa impor sebenarnya tidak diperlukan karena semakin menekan produsen dalam negeri. Seperti impor beras dan gula yang justru memukul petani.

Ecky menekankan bahwa impor migas yang meningkat bukan hanya satu-satunya faktor yang menjadi musabab defisit tahun lalu. Di mana tercatat, defisit neraca migas mencapai 12,4 miliar. Tetapi menurutnya, yang juga bersifat fundamental adalah transaksi perdagangan nonmigas yang juga menurun drastis.

Hal ini terlihat dari surplus perdagangan nonmigas yang terjun 81,14 persen dari 20,4 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 3,84 miliar dolar AS di tahun 2018 lalu.

“Defisit sektor migas relatif bisa dimaklumi karena kebutuhan yang meningkat dan kita sudah net importer untuk BBM. Tetapi merosotnya perdagangan non-migas, karena impor yang semakin besar menunjukkan secara langsung kinerja pemerintah yang gagal mendorong ekspor dan mengurangi impor,” tegasnya.

Industri manufaktur terus merosot dan deindustrialisasi semakin nyata. Sehingga untuk barang-barang konsumsi pun semakin bergantung dari impor.

“Ini sangat sangat memprihatinkan. Pemerintah gagal membangun bangsa lebih produktif dan berdaya saing sebagaiman dijanjikan,” kritiknya.

Ecky juga menekankan pernyataan Bappenas bahwa saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Hal ini terjadi karena porsi manufaktur di dalam PDB semakin menurun sebelum benar-benar mencapai puncaknya.

Indonesia pernah disebut sebagai kandidat negara industri baru karena porsi manufaktur dalam PDB hampir mencapai 30 persen. Namun faktanya,ia menilai kontribusi industri tersebut kini kian menyusut.

Data BPS kuartal III 2018 bahkan menunjukkan porsi industri manufaktur tercatat sebesar 19,66 persen terhadap PDB.