Pakar Semiotika Tersentuh Dialog Ustaz Abdul Somad-Prabowo

Menurutnya, selama ini banyak perbincangan soal relasi antara ulama dan umara. Somad, kata Acep, tiba-tiba muncul dari belantara perbincangan itu dan meletakkan kembali martabat ulama pada maqam-nya.

“UAS (Ustaz Abdul Somad) sekonyong-konyong muncul dari belantara jargon bahasa sedemikian. Ia letakkan kembali martabat ulama pada maqamnya. Ia datang kepada kuasa bukan untuk terlibat, melainkan untuk memberikan amanat. Dititipkannya pesan simbolik, tasbih, dan minyak wangi. Berzikirlah wahai umara dan sebarkan wangi zikir itu kepada rakyatmu. Saya merinding. Dari dialog tersebut memancar martabat, sejatinya demikianlah wibawa ulama. Barangkali karena itu pula, seorang jenderal lapangan tidak berdaya menahan air mata,” jelasnya.

Acep menilai bisa saja aura perbincangan itu tak akan sedahsyat yang dia analisis jika bukan Somad yang bicara. Menurut Acep, salah satu yang membuat dialog itu dinilai dahsyat adalah Somad yang menolak tawaran cawapres beberapa waktu lalu.

“Tapi, tidak. Ustaz muda itu melompat melampaui usianya masuk ke dalam goa kesucian hati, mengentakkan rasio yang banal. Ia seperti telah menemukan sebuah kalimat, ‘salah satu tempat bersemayamnya godaan adalah pikiran’. Bukankah hanya akal yang bisa memberi kesan yang salah menjadi seolah-olah benar. Ketika Allah berfirman bahwa manusia dibekali akal untuk melawan iblis, sepertinya iblis sadar, akal pula yang mesti menjadi sasaran utama serangannya. UAS tidak mau mengakali nuraninya,” tutur Acep.