Rocky Gerung: Bahwa di Atas Raja Masih Ada Ratu!

Sekarang suara PDIP itu berapa, 56%? Kan enggak juga. Suara PDIP kan 20%, bahkan secara nasional 19%. Jadi, PDIP cuma dapat 19 persen, Jokowi dapat 56 persen. Itu artinya, ada kira-kira 30% persen bukan suara PDIP. Suara siapa? Ya suara Muslim, suara partai lain, dan macam-macam.

Jadi tidak bisa Ibu Mega klaim bahwa dia adalah petugas partai PDIP. Karena setelah diujikan ke publik, suara Jokowi waktu itu melampaui suara PDIP. Kan matematiknya begitu. Kenapa Ibu Mega menyebut itu koalisi ya karena dia jengkel saja kok koalisi nantangin dia. Itu kan?

Jadi, yang dimarahin Ibu Mega itu koalisi yang petentang-petenteng di depan PDIP.  Padahal PDIP sendiri bikin koalisi. Kalau nggak bikin koalisi yang tidak bisa dapat juga yang 20 persen itu. Kalau misalnya Ibu Mega bilang saya bisa nentuin sendiri, ngapain masih main mata dengan Gerindra.

Lebih berbahaya lagi kalau Ibu Mega bilang, ini sistem presidensial. Nah, Ibu Mega musti bilang, dalam sistem presidensial tidak ada kuota 20% maka PDIP musti maju untuk mempersoalkan 20% itu. PDIP sendiri juga terima 20%. Itu artinya PDIP juga suka sistem parlementer dalam praktik.

Itu inkonsistensi dalam pidato Ibu Mega. Ibu Mega musti bilang, ini sistem presidensial, Pak Jokowi nggak boleh punya koalisi. Oleh karena itu, 20%  musti dihilangkan. Kan begitu. Jadi harus berhati-hati. Justru karena 20% ya semua orang akhirnya berkoalisi.

Dari bahasa tubuh tersebut, kemudian pidato Ibu Mega juga menyinggung soal pencapresan bahwa itu adalah hak prerogatif yang diberikan kepada beliau dan kemudian menyatakan kalau ada kader PDIP yang mendua, bermain dua kaki, itu dipersilakan out. Di situ kan jelas yang dimaksud pasti Pak Jokowi dan Ganjar. Kan dua-duanya, Pak Jokowi punya agenda tiga periode, Ganjar ingin jadi presiden.

Ya, itu point saya. Selalu Ibu Mega mustinya konsisten saja. Tidak usah minta mereka mundur. Ya pecat saja. Kan Ibu Mega mengatakan bahwa hanya saya yang menentukan siapa yang boleh jadi presiden.