Sontoloyo, Genderuwo dan Lunturnya Politik Simbol Jokowi

Pemimpin sederhana dan merakyat mendapat skor 95,38 persen, sedangkan pemimpin berwibawa 92,19 persen.

Survei ini dilakukan terhadap 2.100 responden dengan metode multistage random sampling di 34 provinsi pada 19 April-5 Mei 2018. Margin of error yang digunakan 2,14 persen.

“Preferensi masyarakat itu tidak bisa dijaga Pak Jokowi. Orang kan memilih menu sederhana dan merakyat. Kalau sekarang menunya beda lagi, ya orang enggak nafsu, ibaratnya seperti itu,” ujar Siti.

Terpisah, pengamat politik Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan sebenarnya kekuatan Jokowi terletak pada gaya lamanya, diam dan membiarkan simbol bermain.

Dengan meladeni perlawanan dengan istilah-istilah kontroversial, Ray menyebut Jokowi menambah kabur substansi kampanye.

“Akhirnya, publik kita hanya ribut soal ungkapan yang sebenarnya tidak perlu. Dan wajah kampanye kita hanya seperti bertarung mengungkapkan ungkapan yang saling menyindir, belum masuk ke soal-soal substantif,” tutur Ray dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, Sabtu (12/11).

Dia menuturkan, seharusnya Jokowi dan juga Prabowo mulai melakukan perdebatan dalam hal substantif. Pasalnya mayoritas masyarakat Indonesia masih minim literasi politik.

“Pada masyarakat yang literasinya masih berkutat pada simbol, kulit dan permukaan, pesan dari simbol tersebut justru terlupakan,” tutur dia. (cnn)