Catatan Dahlan Iskan Dari Rumah Sakit: Salah Saya…

Aneh. Benar-benar aneh. Setiap hari saya olahraga satu jam. Di lapangan terbuka. Kok kekurangan vitamin D.

Tapi saya tidak bisa protes. Hasil test: vitamin D saya hanya 23,4. Padahal setidaknya, harus di atas 40. Antara 40 sampai 100. Berarti vitamin D saya ini rendah sekali.

Itulah sebabnya saya diberi vitamin D (tablet) 5.000.

Mengapa tidak sekalian 10.000?

“Kalau ketinggian nanti kasihan ginjal. Untuk memberi obat, dokter harus mempertimbangkan banyak hal,” ujar dokter Hanny.

Di samping itu di Indonesia tidak dijual vitamin D di atas 5.000. “Di Singapura ada. Bahkan ada yang sampai 20.000,” katanya.

Di Indonesia kalau memberi vitamin D 10.000 harus lewat suntikan. Kalau di Singapura suntikan bisa sampai 20.000. Bahkan 100.000.

Dokter Hanny lantas seperti menyindir saya. “Banyak yang berolahraga di bawah matahari tapi pakai topi dan kaus lengan panjang,” katanya.

Ha…ha…ha… Itu saya!

Alasan resmi saya: saya tidak boleh banyak terkena sinar matahari langsung. Itu terkait dengan obat transplant yang saya minum.

Alasan tidak resminya: takut menjadi lebih item!

Pokoknya: saya salah.

Dokter Hanny begitu serius membahas vitamin D ini. Saya menjadi seperti mahasiswanya: mendengarkan dengan baik. Agar bisa menulis dengan benar.

“Dulu, vitamin D itu kita kira hanya terkait dengan tulang. Ya kan?” katanya.

Tentu saya mengangguk. Pura-pura mengerti. Tapi saya memang pernah mendengar ilmu seperti itu.

“Belakangan vitamin D itu ternyata terkait dengan TBC, pernapasan dan bahkan kanker tertentu,” katanya. Karena itu di masa Covid-19 ini vitamin D menjadi sangat penting.

Sejak kapan ilmu baru itu diketahui? 10 tahun terakhir?

“Ya, sekitar itu,” katanya.