Mahathir, Rizal Ramli, Dan Pulau Malaria

Krisis moneter telah menghempaskan Indonesia jatuh ke titik terdalam. Ekonomi yang stabil di kisaran 6 persen selama puluhan tahun, tiba-tiba terbanting ke minus 13 persen. Praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang menggurita, utang swasta yang gila-gilaan, dan pengelolaan perbankan yang ugal-ugalan, jauh dari prudent, dibayar teramat mahal. Pemerintah harus mengucurkan ratusan triliun rupiah dalam bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bermasalah.

Bukan itu saja, selanjutnya seluruh rakyat harus membayar puluhan triliun bunga BLBI setiap tahun sampai tahun 2040 yang angkanya disembunyikan di APBN. Sementara para banditnya, yakni pejabat publik yang bertanggungjawab dan para konglomerat hitam, justru melenggang dan hidup supermewah. Tidak ada yang ditangkap dan dijatuhi hukuman berat, kecuali beberapa gelintir figuran.

“Ini tidak benar. Harus ada yang dihukum atas perbuatannya yang merugikan negara dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Sayangnya reformasi 1998 melupakan aspek ini. Akibatnya, para penjahat tadi bukan saja bebas, bahkan mereka membajak reformasi. Mereka kembali memegang kendali negara yang pernah mereka hancurkan,” ujar Rizal Ramli, geram, dalam sebuah obrolan santai di teras belakang rumahnya yang asri, dua hari setelah Idul Fitri 1439 H.

Pria yang saat mahasiswa pernah mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung, karena melawan otoriterisme Orde Baru ini sepertinya benar-benar ingin belajar dari kesalahan reformasi 1998. Dia tidak mau kehilangan momentum untuk menghukum siapa saja yang merusak Indonesia. Itulah sebabnya dia menyatakan “pada hari pertama menjadi Presiden.” Momentum ini penting. Karena jika dibiarkan ditunda-tunda dan berlarut-larut, maka segala kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Pada bandit perusak negara sangat mungkin melakukan konsolidasi, minimal menghilangkan bukti-bukti.

Kebijakan yang memiskinkan

Pada titik ini, maka pernyataan Menteri Keuangan era Dus Dur itu yang akan menangkap dan mengirim 100 orang Indonesia paling brengsek ke pulau terpencil bernyamuk malaria, menemukan konteksnya. Ya, memang harus ada yang dihukum atas berbagai kemiskinan dan derita yang dialami rakyat negeri ini.

Kemiskinan yeng membelit sebagian besar rakyat negeri ini memang tidak semata-mata karena mereka malas. Justru pada umumnya rakyat Indonesia adalah pekerja keras, ulet, dan tahan banting. Dalam praktiknya, kemiskinan dipicu oleh kebijakan negara yang memiskinkan.

Mengimpor beras dan garam saat panen raya jelas kian memiskinkan petani dan petambak garam. Membarter kuota impor berbagai komoditas pangan dengan uang sogokan jelas merugikan negara dan menyusahkan rakyat. Publik harus membayar jauh lebih tingggi ketimbang yang seharusnya.