Natalius Pigai: People Power dan State in Emergency

Ada 4 variabel utama terkait pemilu yang ditegaskan oleh PBB: 1). Hak untuk memilih (right to vote). 2) Hak untuk dipilih (right to take a part of government and Politics). 3) Pelaksaan Pemilu secara jujur dan adil (free and fair elections). 4. Negara Dalam Keadaan Darurat (State in emergencies) dan People Power.

Pertanyaannya adalah apakah dalam pelaksanaan pemilu serentak 2019, ketiga variabel (1-3) tersebut di atas berlangsung sesuai dengan standar internasional dan prinsip-prinsip demokrasi? Perlu diperdebatkan!.

1. Perdebatan terkait Hak Memilih sedari awal sudah bermasalah. Penentuan jumlah pemilih pada Pemilu Presiden 2014 sebanyak 190 juta, sedangkan DPT Pilpres 2019 sebanyak 192 juta. Peningkatan jumlah DPT sebesar 2 juta tentu tidak rasional. Belum lagi berbagai polemik terkait KTP.

Pada pemilihan 2019 ada kecenderungan berpotensi munculnya Pemilih Terselubung dan Pemilih Hantu (ghost voters). Negara juga hampir turut mengabaikan kelompok rentan (vurneable groups) khususnya disabilitas sebanyak 20 juta orang. DPT 17,5 juta dan dugaan menyusupnya warga negara asing sebagai pemilih turut menyuburkan dugaan terjadinya manipulasi secara massif penyelenggaraan pemilu 2019.

2. Negara juga belum mampu menjamin warga negara untuk ikut serta dalam pelaksaan pemilu di negeri ini. Sedari awal, di bawah rezim Joko Widodo, Negara dengan sadar dan sengaja melakukan pembatasan setiap warga negara untuk ikut bertarung dalam pilpres. Pembatasan melalui undang-undang pemilu yang menegaskan calon presiden hanya dapat diusung partai politik dengan persentasi dukungan politik sebesar 20%.

Partai-partai kecil tidak punya peluang dan kesempatan untuk mengusung kader-kader terbaik untuk menjadi calon presiden. Banyak tokoh-tokoh politik terbaik di Indonesia yang kecewa. Akibatnya pucuk pimpinan nasional hanya dimonopoli oleh sekelompok oligarki politik dan oligarki ekonomi dan berpotensi melahirkan pemimpin kurang kompeten dari kelompok pemilih mayoritas khususnya Pulau Jawa.

3. Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang kurang kompeten, profesional  berpengaruh pada penyenggaraan pemilu yang tidak jujur dan adil. Pemberian kisi-kisi kepada Capres dalam debat pertama 17 Januari 2019 menunjukkan bahwa KPU tidak punya visi untuk melahirkan seorang pemimpin yang kompeten.

Rakyat cenderung melihat KPU membantu capres tertentu yang disadari umum memilih kemampuan intelektual, kompetensi kepemimpinan lemah. Demikian pula, penegakan hukum yang tidak berimbang dipertontonkan oleh Bawaslu adalah wujud nyata tidak adil dan jujur.

Proses hukum oleh penyelenggara pemilu lebih cenderung menyulitkan calon presiden Prabowo Subianto dan para pendukung untuk meraih kekuasaan secara demokratis.

Pentersangkaan terhadap K.H. Slamet Maarif adalah satu satu contoh betapa tidak adilnya para penjaga keadilan. Demikian pula dipihak lain, Luhut Panjaitan, Sri Mulyani di Forum IMF Bali, Gubernur Bali, Bupati Bandung Barat yang memerintahkan pengangkatan Pegawai Honorer dengan jaminan memilih PDIP dan berbagai kesalahan lainnya yang dilakukan oleh Tim Petahana (Joko Widodo) nyaris tidak pernah diproses hukum secara adil. Tindakan tidak netral ini berpotensi mengganggu asas non diskrimasi dihadapan (due proses of law).

Manipulasi Massif

Pemerintah mesti memahami intensi dasar dari sebuah perhelatan demokrasi bahwa pemilihan tidak hanya pemberian kedaulatan kepada seorang Presiden Prabowo atau Joko Widodo, tetapi rakyat juga ikut menentukan masa depan. Kedaulatan yang diperoleh seorang Presiden juga merupakan resultante kedaulatan-kedaulatan individu untuk mengelola Negara (summa potestas sive sumum sive imperium dominium).