Natalius Pigai: People Power dan State in Emergency

Apakah relevan bahwa hari ini Joko Widodo adalah pemegang kedaulatan dan pengelola kedaulatan? Sebagai Presiden tentu saja benar!

Namun Joko Widodo dalam kapasitas sebagai Calon Presiden  2019-2024 kedaulatannya terkunci atau dikunci oleh sumber kekuasaan yaitu Undang-Undang Pemilu dan Etika Berpolitik dan Berpemerintahan. Karena itu Presiden tidak bisa serta merta menggunakan kekuasan (otoritas) dan sumber daya publik (negara) untuk kepentingan mengdongkrak elektabiltas. Kecenderngan penyalagunaan kekuasaan untuk meningkatkan elektabilitas sangat terang benderang. Apalagi semakin hari semakin membahayakan karena mengancam tata kelolah pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Berbagai kebijakan dan tindakan Joko Widodo yang bersifat bantuan secara langsung maupun tidak langsung makin meyakinkan rakyat bahwa pemerintah secara terencana, terstruktur, sistemtis dan massif menggunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pemilihan Presiden.

Ada beberapa tindakan atau kebijakan Presiden Joko Widodo yang mengancam hak pemilih dalam demokrasi yang dapat berpotensi memupuk kekecewaan rakyat  diantaranya:

1. Kobarkan Sindrom Kekuasaan

Menurut ilmu polemologi, pemimpin yang mengambil keputusan perang adalah pemimpin yang memang haus akan kekuasaan dan  bertujuan untuk merebut kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan. Selain itu juga pemimpin yang secara terang-terangan mendeklarasikan perang di hadapan rakyatnya jelas membuktikan bahwa dirinya adalah pribadi yang ambisius.

Perang dalam ilmu polemologi sendiri tidak hanya berwujud perang fisik melainkan perang non fisik. Perang non fisik adalah kekerasan verbal isinya bertentangan dengan hukum yaitu agitasi, propaganda atau hatespeech. Pidato Presiden Joko Widodo dalam rapat umum relawan di SICC, Bogor, Jawa Barat, Sabtu tanggal 4 Agustus 2018 menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.

Pasalnya, Joko Widodo yang menjadi petahana pada Pilpres 2019 meminta para relawannya untuk berani jika diajak berantem alias berkelahi. Selain pernyataan-pernyataan yang mengancam dan membahayakan instabilitas sosial dan integritas nasional juga kata-kata seperti sebutan Genderuwo, Sontoloyo, propaganda Rusia, pernyataan perang total oleh Moeldoko dan pernyataan yang mengejutkan seperti 4 tahun bersabar menghadapi tekanan oposisi oleh Joko Widodo dan yang terakhir serangan kepada Prabowo saat debat capres ke 2 tanggal 17 Pebruari 2019.

Perilaku yang ditunjukkan oleh Joko Widodo tersebut seakan-akan menyembunyikan ketidakmampuan (inkompetensi) dalam memenuhi janji-janji pilpres 2014 seperti Pemantapan Kedaulatan bangsa melalui komitmen tidak impor (beras, garam, kedele, cabe, pembelian kembali indosat), pembukaan lapangan kerja 10 juta, pembukaan lahan pertanian baru sebesar 1 juta Ha dll.

2. Keputusan Eksperimental dan Blunder

Pernyataan terkait Pembebasan Bersyarat Ustad Abubakar Ba’asyir pada pertengahan Januari 2019 menghebohkan publik Indonesia. Keinginnan Joko Widodo untuk memberi Pembebasan Bersyarat rupanya tidak tulus sehingga tidak dilakukan secara formal sebagai Kepala Negara dengan menggerakan institusi Negara yang terkait seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, BNPT tetapi justru dilakukan melalui pihak-pihak yang tidak kompeten dan berwenang seperti Yusril Isha Mahendra.