Natalius Pigai: People Power dan State in Emergency

Sangat wajar jika umat Islam marah karena Umat Islam memiliki peran penting dalam historiografi bangsa, pahlawan perintis kemerdekaan diritis oleh kaum bersorban; Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegro, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanuddin.

Demikian pula ketika negara ini merdeka, secara kuantitas dimerdekakan karena peran tokoh-tokoh Islam. Umat Islam juga merelakan 7 kata (Syariat Islam) dihapus untuk mendirikan Indonesia yang majemuk dan negara unitarian.

Tahun 1955 NU dan Masyumi yang menjadi kekuatan politik besar juga dibonsai dalam senyawa nasionalisme dan komunisme melalui Nasakom. Tahun 1973 umat Islam dikandangkan dalam satu kekuatan partai yaitu PPP, dan lebih sadis lagi di tahun 1982 dimana penerapan asas tunggal, mengancam eksistensi nilai spiritualistas agama dalam pengelolaan negara, tahun 1999 umat muslim mulai bangkit melalui hadirnya Cides, Republika dan BJ Habibie hanya bertahan delapan bulan, demkian pula Gus Dur hanya bertahan 11 bulan.

Setelah Gus Dur tidak ada kekuataan Islam yang menjadi besar, PKB tersandera dalam pragmatisme politik dan menggadaikan spritualitas agama dan nilai khitah 1926. Ancaman nyata terhadap umat Islam semakin keras ketika Joko Widodo menjadi presiden tahun 2014 mulai kriminalisasi, tangkap, aniaya, bunuh terhadap para ulama, kiai, habaib, ustaz, ustazah dan aktivis Islam.

Saya mesti menegaskan adaikan Joko Widodo dimenangkan melalui manipulasi massif, sistemtis dan terstruktur maka apa yang diucapkan oleh Moeldoko telah secara nyata menenggelamkan dan mengkerdilakn peran umat Islam.

Umat Islam tidak akan tinggal diam untuk menentang kezaliman dampknya negara dalam ancaman potensi perpecahan bangsa. Bukan tidak mungkin konflik horizontal suku, agama, ras dan antar golongan dapat mengancam integritas nasional 2019-2024.

Sebagaimana diucapkan oleh Joko Widodo pada saat debat keempat calon presiden tanggal 30 Maret 2019 bahwa, “NKRI bubar bukan karena ancaman negara lain, tetapi labilitas integrasi sosial.”

Dengan kata lain bahwa Indonesia dengan jumlah suku sebanyak 714, berbeda agama, ras, dan golongan adalah ancaman nyata jika negara tidak menjadi perekat.

Belum lagi 73 tahun demokrasi hanya dirancang untuk memenangkan mayoritas suku yaitu “maaf saya sebut; Suku Jawa”.

Kalau Umat Islam dikucilkan dan negara masih menerapkan demokrasi satu orang, satu suara dan satu nilai diganti dengan demokrasi berbasis perwakilan pada Pilpres 2024, maka tinggal tunggu waktu peristiwa tahun 2000 dimana pengusiran suku Jawa di Aceh, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua akan terulang dan akan makin berbahaya. Itu yang negara harus catat.

Skenario State In Emergency dan People Power

Pernyataan “perang dan lawan” yang dikeluarkan oleh Joko Widodo, pernyataan “perang total” oleh Moeldoko, dan beberapa pernyataan Wiranto yang “blunder” tentang ancaman pengenaan pidana terorisme bagi mereka mengajak golput.

Sejak tahun lalu komunitas Islam dianggap sebagai kelompok radikal dan teroris yang mengancam kepentingan nasional, mengancam ideologi Pancasila yang dimunculkan dengan menuduh sejumlah masjid dan kampus terpapar radikalisme yang dimunculkan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang diucapkan oleh Wawan Purwanto juru bicaranya dapat dipahami sebagai skenario dan framing Indonesia dalam seakan-akan ancaman dan bahaya.