Parpol: Organisasi Paling Berbahaya

Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts

Contoh terakhir adalah kesombongan Anggota DPR RI Effendi Simbolon dari partai Bantheng yang mengkritik Kedua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang akhir-akhir ini bersuara keras mengkritisi PT 20%.

Oleh: Daniel Mohammad RosyidGuru Besar ITS Surabaya, @Rosyid College of Arts

SEJAK Reformasi telah mengganti UUD 1945 menjadi konstitusi palsu UUD 2002, partai politik bertumbuh menjadi organisasi yang makin berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika Mahfud MD pernah mengatakan bahwa malaikat bisa berubah menjadi iblis jika masuk ke jembatan timbang, maka partai politik bisa mengubah presiden menjadi petugas partai yang tunduk pada petinggi partai.

Pada saat biaya politik makin tinggi, pejabat publik – di cabang eksekutif atau legislatif – kini harus tunduk pada para taipan yang menyediakan logistik bagi partai politik dan petinggi-petingginya untuk meraih kekuasaaan.

Jika pejabat publik sekelas presiden pun bisa turun kelas menjadi petugas partai, maka publik pemilih hanya menjadi jongos politik setelah Pemilu berakhir. Tidak mengherankan jika pemilu selalu berakhir dengan kepiluan masal seperti antrian minyak goreng dan harga kebutuhan pokok yang makin membubung tinggi.

Prof. Noam Chomsky dari MIT bahkan mengatakan bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet ini adalah Partai Republik AS saat di bawah Donald Trump, bukan Al Qaedah atau Hamas, apalagi FPI atau HTI.

Sejak reformasi, walaupun pemerintahan Republik ini presidensial, peran dari partai politik merambah ke hampir semua sudut kehidupan penting negeri ini. Hampir seperti CO2 yang mengotori atmosfer, jejak Partai Politik ada di semua tempat yang telah menjadi racun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di Indonesia dahulu, organisasi yang paling berbahaya itu PKI, lalu kemudian Golkar menjelang reformasi.

Saat ini, organisasi yang paling berbahaya adalah  parpol berlogo bantheng, sehingga hampir semua parpol terpaksa mbantheng agar aman-aman saja. Jika tidak berteman dengan bantheng, para elit parpol itu banyak yang akan disaduk dan dipenjarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sifat racun parpol itu bisa dijelaskan secara berikut dengan menggunakan analogi gula dan sekolah. Baik sekolah maupun parpol itu sebenarnya dibutuhkan bagi kehidupan yang sehat. Seperti tubuh membutuhkan gula. Namun jika kadarnya berlebihan, bahkan memonopoli secara radikal, maka gula akan menyebabkan diabetes.

Sekolah yang memonopoli sistem pendidikan juga telah merusak pendidikan dengan cara melemahkan keluarga dan masyarakat dalam mendidik warga muda. Wajib belajar disamakan dengan Wajib Sekolah, padahal belajar bisa dilakukan di mana saja. Akibatnya pendidikan menjadi barang langka yang mahal.

Parpol saat ini telah memonopoli politik sehingga melumpuhkan partisipasi publik dalam menyediakan polity as public goods. Politik menjadi barang langka mahal yang hanya disediakan oleh parpol. Persis seperti monopoli radikal sekolah dalam Sisdiknas telah merusak education as public goods.

Sudah lama persekolahan secara radikal memonopoli pendidikan sejak persekolahan dikerdilkan menjadi sekedar instrumen teknokratik untuk menyediakan buruh yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk setia dan patuh pada pemilik modal.

Persekolahan sejak Orde Baru tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi menjadi strategi untuk menyediakan syarat-syarat budaya bagi bangsa yang merdeka.

Persekolahan hingga hari ini tak pernah dimaksudkan untuk menjadi fasilitas belajar merdeka, sekalipun kini ada wacana Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Template kehidupan mahasiswa saat ini adalah lulus tepat waktu dengan predikat cum laude, lalu bekerja di BUMN atau MNC. No more no less.