‘Perlawanan’ JK

Mungkinkah langkah “nekat” JK yang melakukan “perlawanan” dengan mengonsolidasi potensi internal di nonnegara akan berhasil? Paling tidak mampu memberi secercah harapan ketenangan kepada masyarakat plus mengurangi kegamangan dan kegugupan aparat negara yang terlihat terkadang seperti kebingungan dan terkesan hampir kehabisan akal.

Tapi jangan disalahfahami, yang dimaknai dengan istilah “perlawanan” dalam konteks JK adalah terhadap progresivitas penyebaran wabah virus Covid-19.

Manuver JK memang menarik. Sebagai mantan Wakil Presiden yang belum setahun meninggalkan Istana, dipastikan mempunyai jaringan informasi “bawah tanah” yang up to date tentang suasana kebatinan elite-elite Istana itu sekarang.

Sebagai alumnus pemerintahan pertama kabinet Jokowi, JK diyakini memiliki sejumlah informasi yang akurat tentan “jeroan” Istana. Inilah yang membedakan JK secara kualitatif dengan pemimpin masyarakat sipil yang belum pernah punya pengalaman di pemerintahan selengkap JK.

Berdasarkan penelusuran media, teriakan JK tampaknya telah  merebut perhatian publik maupun elite. Diperkirakan terdorong  dua hal.

Pertama, dipengaruhi rasa percaya diri JK yang bergerak secara independen tanpa sumber daya negara. Yang kedua, lantaran kepasifan Maruf Amin yang tidak terlihat ada  geliatnya. Padahal sumber daya negara sangat besar dan banyak di tangannya.

Ada juga yang berharap “perlawanan” JK mampu menggelinding  menjadi faktor pemotivasi gerakan “civil society” agar mereka lebih percaya diri, yang meskipun tanpa topangan sumber daya negara tetap konsisten menjalankan peran kritisnya. Mengontrol perjalanan pemerintahan agar tetap di atas koridor konstitusi sesuai dengan amanat proklamasi.

Kasus Covid-19 ini dapat dibaca dari perspektif yang lain, dapat menjadi panggung “perlawanan” JK terhadap adanya sejumlah tuduhan miring yang menganggapnya selama ia menjadi Wapres dua kali, ia  lebih banyak membesarkan kerajaan bisnisnya dan keluarganya.

Publik sedang menanti-nanti apakah “perlawanan” JK dapat menjadi pintu masuk terkonsolidasinya kekuatan masyarakat sipil yang masih berserak–serak tanpa sentral komando, di bawah sebuah komando “ideologi” kebangsaan yang konsisten berkomitmen kepada keutuhan NKRI.(end)

*) Penulis: Zainal Bintang, Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya