Sudirman Said: Reklamasi dan Marwah Hukum Kita

Lebih jauh lagi, reformasi 1998 membuahkan tindak lanjut beberapa kali Amandemen Konstitusi, suatu langkah fundamental yang diabdikan untuk memenuhi tuntutan perkembangan dalam mengelola negara.  Jelas bahwa melakukan revisi suatu aturan, sampai landasan peraturan tertinggi seperti UUD 1945 pun dapat dan harus dilakukan, jika itu memang menjadi kehendak publik, jika itu diabdikan bagi rakyat banyak.

***

Kembali ke soal reklamasi, pemahaman masyarakat awam sesungguhnya sederhana: sejauh mana manfaat dan mudharat dari melanjutkan reklamasi untuk dapat diputuskan apakah akan dilanjutkan atau tidak.

Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang menjadi landasan berpikir mengapa kebijakan reklamasi harus ditinjau ulang (dalam bahasa terang dibatalkan).

Pertama, konsistensi dan koherensi landasan hukum. Sejak Kepres 52/tahun 1995 sampai sekarang sudah ada dua Undang-Undang yang diundangkan yakni UU 26/2007 tentang Tata Ruang dan UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pantai dan Pulau Pulau Kecil.  Kedua UU tersebut memiliki relevansi dengan pengelolaan reklamasi, dan kedua UU telah didukung dengan Peraturan Pelaksanaannya mulai dari PP, Perpres, hingga Peraturan Menteri.  Keseluruhan peraturan perundangan tersebut belum dapat dikatakan memiliki koherensi dengan konsep awal reklamasi seperti diatur oleh Kepres 52/1995, yang sampai saat ini bekum dicabut.  Karena itu diperlukan untuk menata keseluruhan regulasi agar ada konsistensi satu sama lain, dan agar para pihak memiliki pemahaman yang sama dalam mengelola tugas dan fungsinya masing-masing.

Kedua, dalam ketiadaan koherensi dan konsistensi landasan hukum dan regulasi, pelaksanaan dari aturan yang ada juga terkesan ugal-ugalan. Ketentuan perlunya aturan zonasi, perlunya Kajian Lingkungan Hukum Strategis, keharusan adanya rekomendasi dan ijin dari Kementerian yang berwenang telah diabaikan begitu saja.  Pengabaian paling telanjang tentu saja dipertontonkan ketika pengembang membangun properti berbentuk ratusan ruko megah tanpa adanya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Dan lebih ugal-ugalan lagi, karena properti ilegal yang berdiri di atas pulau ilegal terus saja dipasarkan.