Solusi Genosida Myanmar Menurut Muslim Rohingya

Oleh karena itu Hafez pesimistis dengan rencana repatriasi yang digagas Aung San Suu Kyi.

“Masalah Rohingya tidak sebatas memberikan kartu identitas penduduk, lalu dianggap selesai. Tidak! Masalah kami di Myanmar adalah soal mengembalikan martabat yang terinjak-injak,” kata Hafez meninggikan intonasi bicaranya untuk menegaskan artikulasi pesannya kepada Myanmar dan dunia.

“Kunci mengatasi masalah Rohingya adalah bagaimana Myanmar mengembalikan dan menumbuhkan harga diri orang Rohingya,” ulang Hafez.

Sumpah anak Rohingya

Harga diri memang menjadi hal prinsip bagi sebagian besar orang Rohingya, apalagi setelah mereka menyeberang ke Bangladesh dunia menjadi tahu betapa terinjak-injaknya harga diri dan martabat mereka.

Terlalu banyak cerita mengenai wanita-wanita yang diperkosa, anak-anak yang terpaksa menyaksikan orang tua mereka dibunuh di depan mata mereka sendiri.

“Sampai-sampai ada seorang anak usia 12 tahun, baru 12 tahun!…yang bersumpah di depan saya bahwa suatu saat dia akan membalaskan dendam atas kematian orang tuanya,” kata Aiman Ul Alam yang menjadi pemandu sekaligus penerjemah untuk misi-misi kemanusiaan Indonesia di Cox’s Bazar.

Setiap hari Aiman mengantar orang asing, termasuk wartawan-wartawan luar negeri, untuk menemui para pengungsi Rohingya, sampai jauh ke pedalaman perbatasan Myanmar-Bangladesh.  Dari sinilah Aiman mendapatkan begitu banyak cerita mengenaskan soal Rohingya.

Dan itu tak dipungkiri oleh Hafez Ullah, kendati dia mengakui hidup di tempat pengungsian juga sangat menyulitkan.

“Tapi di sini kami punya tempat berteduh, tidak ada orang yang diperkosa, tidak ada orang yang dibunuh,” kata Hafez.

Sulit untuk memverifikasi pengakuan Hafez dan umumnya pengungsi Rohingya, karena pemerintah Myanmar menutup rapat-rapat Rakhine seolah ingin mencegah dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.