Solusi Genosida Myanmar Menurut Muslim Rohingya

Mengembalikan martabat

Hidup di kamp pengungsian tidak lebih memedihkan dari hidup di Maungdaw.  “Tetapi martabat kami di sana (Myanmar) lebih rendah ketimbang jadi pengungsi di sini (Bangladesh),” kata Hafez.

Hafez tidak tahu kapan dia dan ratusan ribu pengungsi Rohingya lainnya bisa kembali ke Myanmar. Bagi dia, Rakhine, Arakan atau apa pun nama tempat ini disebut, adalah tanah airnya, tak ada yang bisa menggantikan itu.

Pada 20 September, pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengutarakan rangkaian janji kepada dunia dan komunitas yang hanya disebutnya dengan  nama “Muslim Rakhine”. Salah satu janji dia adalah merepatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar.

“Yang dia katakan itu bohong,” kata Hafez.

Hafez skeptis janji itu diwujudkan oleh pemimpin Myanmar peraih Hadiah Nobel Perdamaian tersebut.

Sembilan hari lalu Suu Kyi berkata, “Kami sudah siap untuk memulai proses verifikasi (untuk repatriasi Rohingya), kapan pun itu.”

Tetapi seperti umumnya pengungsi Rohingya, Hafez menilai janji itu kosong belaka. Dia menganggap apa yang dijanjikan Suu Kyi itu dilakukan di bawah aturan yang sebelumnya juga pernah dilakukan, dan terbukti tidak berdampak apa-apa.

“Saya mengakui dia (Suu Kyi) punya niat untuk menyelesaikan masalah Rohingya, tapi sayang dia bukan penentu utama kebijakan,” kata Hafez.

Bagi Hafez, penguasa nyata di Myanmar, termasuk untuk semua hal yang berkaitan dengan Rakhine dan Rohingya, adalah “tatmadaw” atau militer, yang saat ini dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing.

“Min Aung-lah yang penguasa sesungguhnya di Myanmar,” kata Hafez.

Pria satu istri dua anak ini melihat Suu Kyi terborgol oleh militer. Di mata Hafez, Suu Kyi hanya suar Myanmar kepada dunia, yang sebenarnya tak punya banyak kekuasaan, apalagi sampai tingkat paling praktikal.