Bekerja di Luar Negeri, Samakah dengan Membantu Orang-Orang Kafir?

Assalamu’alaikum,

Pak Ustadz, saya seorang karyawati berjilbab di perusahaan Indonesia. Perusahaan saya sering kerjasama dengan perusahaan asing. Saya sering diperbantukan karena alhamdulillah saya menguasai bahasa asing (Inggris). Saya juga berteman dengan partner asing perusahaan dari luar negeri. Sudah sebulan ini saya sedang mencari pekerjaan lain karena suasana kerja yang kurang mendukung walaupun mayoritas Muslim.

Yang jadi pertanyaan, teman saya tersebut menawarkan untuk kerja di kantor pusatnya di luar negeri, tepatnya di New Zealand. Dia meminta saya berbicara dengan suami karena kalau kami setuju kami diperbolehkan pergi bersama dan suami juga akan bekerja di sana. Menurut teman saya karyawati di sana juga ada yang berjilbab seperti saya ketika dia ditanya mengenai identitas saya yang seorang Muslimah.

Suami saya setuju dengan pertimbangan tidak terlalu lama kemungkinan kita di sana hanya 2 tahun saja, ada komunitas muslim di kota tersebut dan 5 masjid sudah berdiri lengkap dengan kajian ke-Islaman, shalat Jumat berjamaah dan lain-lain. Di samping itu kita belum dikaruniai anak dan juga untuk menambah modal usaha ketika kembali ke Indonesia pada sisi ekonomi.

Yang jadi kekhawatiran saya, apakah boleh kita membantu dalam kata lain bekerja untuk orang non Muslim karena mereka adalah musuh-musuh kita umat Islam dan mereka tidak akan ridho pada Muslim sampai kita ikut agama mereka (QS 2: 120)? Di sisi lain, dalam bekerja saya lihat mereka lebih profesional dan disiplin yang ini bisa kita contoh untuk kebaikan dan inilah suasana kerja yang saya cari. Seringkali saya lihat orang Muslim sendiri tidak bekerja disiplin. Apakah boleh dengan alasan tersebut kita belajar pada perusahaan orang asing yang lebih profesional?

Mohon pak Ustadz memberikan solusi dalam Islam dan atas jawabannya saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tidak semua orang kafir itu musuh umat Islam, hanya kafir harbi saja yang harus dimusuhi. Itu sifatnya tidak abadi, maksudnya tidak selamanya orang kafir harbi itu akan jadi kafir harbi. Bila terjadi perdamaian dan ta’ahud antara mereka dengan pemimpin umat Islam, maka statusnya turun menjadi kafir zimmi, kafir mu’ahid atau kafir muamman.

Di Madinah pada masa Rasulullah SAW, jumlah kafir zimmi ini cukup banyak. Dan tidak ada pemboikotan apapun dengan mereka, karena selama ini mereka setiap dengan perjanjian yang telah disepakati. Yaitu Piagam Madinah. Kecuali setelah terbukti kecurangan mereka dan gugurnya piagam itu, maka dimaklumatkan perang kepada mereka dan jadilah mereka kafir harbi.

Selama masih dalam mu’ahadah, kehidupan di Madinah cukup tenang. Bahkan dalam banyak hal, Rasulullah SAW terlibat dengan banyak akad dan transaksi dengan orang Yahudi. Demikian juga dengan para shahabat, mereka tetap bermuamalah dengan orang yahudi di Madinah.

Kalau pun kita tidak suka dengan sikap mereka, lalu secara perasaan yang bersifat individu kita tidak mau bekerjasama atau bekerja dengan mereka, tentu sikap itu merupakan hak kita masing-masing. Sama saja kasusnya bila anda menolak bekerja dengan sebuah perusahaan di negeri sendiri, lantaran bosnya kurang anda sukai.

Tetapi kita bisa membuat sebuah fatwa begitu saja yang mengharamkan bekerja dengan suatu perusahaan tertentu hanya karena masalah yang bersifat subjektif.

Manfaat dan Madharat

Dalam pandangan kami selama bukan kepada orang kafir harbi, kita masih dibenarkan untuk berhubungan bahkan bermuamalah dengan mereka.

Pertimbangannya tinggal masalah seberapa besar manfaat dan madharat yang bisa kita dapat dari bermuamalat dengan mereka.

Barangkali di antara manfaat yang bisa anda dapat adalah gaji yang lebih besar. Dan pertimbangan ini tentu manusiawi sekali dan juga dibenarkan dalam syariah. Banyak sekali para aktifis dakwah dari negara Arab yang kini tinggal di negara barat, di mana salah satu pertimbangan mereka memang pertimbangan ekonomi selain masalah peluang dakwah.

Dan memang peluang berdakwah ini pun bisa menjadi faktor penguat juga. Sebab negara-negara barat termasuk juga New Zealand miskin dan minim dakwah, padahal mereka juga berhak untuk mendapatkannya. Apalagi mengingat sekarang ini sampai bisa membuat mereka berbondong-bondong masuk Islam. Pasca meledaknya bom WTC 11 September 2001, paling tidak sudah ada 25.000 orang Australia yang masuk Islam.

Tentunya mereka butuh nara sumber dari kalangan muslim, selain juga perlu bertemua langsung dengan orang-orang Islam yang menjadi teman mereka serta membuat citra yang positif. Semua ini kami anggap sebagai bagian dari dakwah yang sangat urgen.

Dakwah bukan hanya terbatas di negeri Islam saja, tetapi justru di barat sekarang ini sangat dibutuhkan tenaga dakwah.

Selain urusan ekonomi dan dakwah, di beberapa negara barat juga ada manfaat lainnya yang bisa kita ambil, misalnya teknologi dan aplikasinya, juga penerapan kedisiplinan, kebersihan, ketertiban bahkan termasuk law enforcement.

Tetapi di balik beberapa manfaat, pasti juga ada madharat. Misalnya dekadensi moral yang akut di negeri mereka, kebebasan seks, termasuk resiko tertular AIDS. Kerusakan dalam bidang pemikiran juga sangat parah, baik lewat ideologi kapitalis, sosialis bahkan atheis. Selain juga liberalis dan sekuleris yang bersarang di sana.

Resiko lainnya masalah ketidaknyamanan anda disikapi dengan stereotype negatif oleh bangsa itu. Akibat kebijakan pers yang sangat timpang. Mungkin juga anda akan menerima sindiran, cacian, sinisme, atau bahkan provokasi negatif dari bangsa itu.

Semua manfaat dan madharat itu perlu anda pertimbangkan sebaik-baiknya. Kalau manfaatnya dirasa lebih besar, apa salahnya anda berangkat ke sana dengan suami. Tapi kalau madharatnya jauh lebih besar, buat apa ke sana. Tidak ada salahnya bila anda banyak cari informasi kepada teman-teman yang sudah pernah ke sana sebelumnya. Atau kalau anda punya jalur tertentu dengan para aktifis dakwah di sana, tentu akan lebih lagi. Sebab sejak awal anda akan dimasukkan ke dalam barisan aktifis dakwah di sana.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.