Ingin Pulang

Kaki saya menginjak bumi Jerman pertama kali pada 31 Juli 2007. Beberapa bulan setelah itu, sekitar September, tiba-tiba saya tidak bisa menahan isi hati yang ingin saya tumpahkan kepada keluarga saya. Hanya satu maksud di hati, ingin pulang. Orang tua saya cukup kaget ketika menerima sms saya bahwa saya sedang memikirkan untuk pulang saja ke Indonesia. Dalam sms itu saya berkata, “Abang[1] merasa apa yang akan abang dapat di sini tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah abang lakukan”.

Ayah saya kemudian membalas kata-kata saya itu dengan mengingatkan bahwa saya telah banyak berkorban waktu dan tenaga hingga bisa ke Jerman, jadi sayang kalau kemudian berubah pikiran. Memang kalau dipikir saya sudah berkorban beberapa hal untuk ke Jerman ini. Saya mempersiapkan bahasa Jerman semenjak saya masih kuliah di Bandung, tetapi kemudian tidak dilanjutkan lagi ketika saya sudah lulus kuliah dan kemudian bekerja.

Kemudian ketika mempersiapkan aplikasi pendaftaran ke universitas di Jerman, saya mempersiapkan diri untuk ikut TOEFL dan ZD[2]. Selepas kuliah saya bekerja hanya setahun, dan ini sudah saya utarakan ketika pertama kali saya diwawancara oleh pimpinan perusahaan tempat saya bekerja. Saya beralasan ingin melanjutkan kuliah. Setelah keluar dari pekerjaan, maka ada beberapa bulan saya gunakan untuk belajar bahasa Inggris dan Jerman, khususnya untuk persiapan tes. Untuk persiapan TOEFL, saya hanya membeli sebuah buku berisi latihan-latihan soal yang ditulis oleh penerbit Indonesia. Menurut saya penyajiannya mudah dipahami sehingga bagi saya insyaALLAH cukup.

Untuk persiapan bahasa Jerman, saya hanya mengandalkan apa yang dulu pernah saya pelajari di kursus, untuk saya ulangi sendiri lagi. Walaupun hasil tes bahasa saya tidaklah terlalu bagus, tetapi sudah cukup untuk memenuhi persyaratan kuliah di universitas tujuan. Ketika mengurus visa, saya datang sendiri ke Kedutaan Besar Jerman mengurusnya. Beberapa kali saya bolak-balik untuk mengurus dokumen, dan sempat pula mengurus selembar terjemahan dokumen ke dalam bahasa Jerman di Bogor. Saya juga harus ke Bandung untuk mengurus terjemahan ijazah dalam Bahasa Inggris yang juga memerlukan waktu untuk mengeluarkannya.

Mungkin melihat apa yang telah saya lakukan, mulai dari berhenti bekerja, persiapan tes bahasa, persiapan dokumen, datang ke kedutaan, dan kesibukan saya mempersiapkan kuliah, maka ayah saya merasa sayang jika semua itu harus begitu saja saya lupakan. Pada saat itu ayah saya tidak memaksa, tetapi mengajak saya untuk berpikir masak-masak dahulu.

Yang lebih berat adalah sebenarnya ketika saya harus berpisah dari istri dan buah hati saya yang baru berumur 3 bulan. Ketika saya memutuskan untuk kuliah ke Jerman, maka pada saat itu saya menanggung risiko bahwa keluarga saya tidak ikut menemani saya. Maklum, saya kuliah ke Jerman tidak dengan beasiswa, melainkan dukungan finansial dari keluarga, sehingga amat terbatas, dan saya juga harus berusaha untuk meringankan ini dengan berusaha mendapatkan tambahan finansial ketika sudah di Jerman.

Orang tua saya tidaklah kaya, tetapi mereka hanya tidak menemukan lahan lain untuk menaruh sebagian rezeki yang masih ada pada mereka, selain itu berguna untuk studi saya. Semenjak menikah, saya dan istri saya belum pernah hidup berpisah. Saya sesuaikan diri saya agar bisa selalu dekat dengan istri saya. Waktu itu istri saya masih menyelesaikan koas sebagai calon dokter. Bahkan ketika istri saya harus lebih banyak melakukan koas di Serang, maka saya kuatkan untuk pulang-pergi Kebon Jeruk – Serang setiap hari, walau biasanya baru tiba di rumah mendekati jam 9 malam.

Ketika kantor perusahaan saya pindah ke Bukit Sentul, dan bagi saya tidak realistis jika setiap hari pulang pergi ke Serang, saya kuatkan juga agar setiap pulang kantor hari Kamis saya pulang ke Serang. Dan Jumat pagi berangkat ke Bogor dari Serang. Jadi tiap pekan dari Kamis malam hingga Senin subuh saya masih bersama istri saya. Inilah yang membuat saya berat jika sekarang harus merasakan hidup tanpa istri yang sangat saya cintai.

Terlebih ketika buah hati kami lahir. Selama tiga bulan semenjak kelahiran buah hati kami, bisa dibilang saya yang mengasuh bayi kami, maklum istri saya jadwalnya padat dengan koasnya. Waktu itu saya sedang masa-masa menjelang keberangkatan, sehingga tidak punya kesibukan selain di rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit setiap pagi, istri saya memandikan anak kami terlebih dahulu.

Setiap malam istri saya memeras ASI, karena sudah menjadi komitmen kami bersama untuk sesibuk apapun, anak kami hanya minum susu dari ibunya, dan alhamdulillah, ALLAH melancarkan usaha kami ini. Setelah istri ke rumah sakit, maka saya yang mengambil alih tugas mengasuh anak. Mulai dari membersihkan pipis dan kotoran anak kami, mengambil ASI yang disimpan di lemari es, kemudian menghangatkannya, dan menuangkannya ke dalam botol susu, dan memberikannya kepada bayi kami ketika ia bangun.

Kebetulan bayi kami ini kuat minum ASI, sehingga istri saya berusaha keras agar kebutuhan ASI anak kami terpenuhi setiap hari. Yang lucu bagi saya, adalah ketika membuat bayi kami untuk tidur. Saya gendong dan bawa jalan-jalan tetapi ia juga belum mau tidur, matanya masih terbuka dan menatap saya atau benda-benda yang menarik perhatiannya. Saya senandungkan lagu tanpa judul, yang hanya terlintas di kepala, ia juga belum mau tidur. Akhirnya saya lantunkan zikir pendek yang saya hafal, ia pun tertidur juga.

Kedekatan batin selama 3 bulan dengan bayi terbawa hingga saya ke Jerman. Saya sering meminta istri saya untuk mengirim foto-foto anak kami via e-mail dan menceritakan kabarnya. Sungguh berat memang, bahkan bagi saya sangat berat. Untuk saudaraku yang sudah berkeluarga dan hendak kuliah ke luar negeri, maka saya hanya bisa memberi saran agar usahakanlah keluarga untuk ikut. Saya tidak ingin apa yang menimpa saya ini juga saudaraku rasakan.

Saya berunding dengan istri saya, mengenai keinginan untuk pulang ini. Awalnya istri saya ikut mempertanyakan kenapa saya jadi begini, kenapa tidak dari awal saja tidak usah ke Jerman, dan bersama-sama di Indonesia. Istri saya mengingatkan bahwa sudahlah, sebaiknya saya jalan terus di Jerman, insyaALLAH itu yang terbaik dari ALLAH. Saya beruntung punya istri saya yang bisa menenangkan hati ketika hati ini sulit lepas dari kegundahan.

Dan yang saya kagumi dari istri saya adalah dia seorang muslimah yang kuat dan mandiri, inilah yang membuat saya memutuskan bahwa saya tetap di Jerman, dan apapun yang akan dihadapi, bila sudah menjadi keputusan bersama, maka saya tidak punya pilihan lain selain menjalaninya.Walau sulit tetapi saya bersyukur ALLAH masih memberi saya kesempatan dua kali pulang ke Indonesia semenjak di Jerman, dan saya berharap sebentar lagi saya akan berkumpul lagi bersama keluarga saya di Indonesia, insyaALLAH.

==========

Catatan :

[1] Panggilan saya dan keluarga saya untuk diri saya

[2] Zertifikat Deutsch , sertifikat bahasa Jerman