Mempraktekkan Islam, Brotherhood (3)

Selama di Jerman saya membiarkan rambut saya panjang tanpa dicukur. Kalau istri saya melihat ketika kami webcam-an melalui internet, ia bilang saya gondrong tapi dia malah suka rambut saya panjang seperti ini. Pernah teman kuliah saya Giovani dari Kolombia mengomentari rambut saya yang gondrong dengan mengatakan, “Kahfi, rambutmu tumbuh tidak terkendali!” Ketika suatu saat saya sedang pulang ke Indonesia, maka komentar pertama yang meluncur dari orang tua saya adalah rambut saya.

Karenanya ketika lagi jalan-jalan keluar, saya memakai topi tanpa mulut untuk menutup rambut saya yang panjang ini. Anak saya ketika pertama kali melihat saya ketika ikut menjemput kedatangan saya juga terlihat heran-heran seolah ingin memastikan bahwa sosok di hadapannya adalah ayahnya. Mertua saya pun mengomentari yang sama seperti orang tua saya, maka akhirnya saya pun mencukurnya.

Sebenarnya bukan keinginan saya membiarkan rambut saya panjang, tetapi saya hanya tidak mau mengeluarkan 10 euro hanya untuk mencukur rambut, sayang rasanya, lebih baik dipakai untuk yang lain. Di Indonesia saya rutin sebulan sekali mencukur rambut, tetapi kebiasaan ini tidak bisa saya teruskan semenjak di Jerman. Kadang rambut panjang saya seolah saya jadikan niat bahwa kelak saya akan mencukurnya hanya ketika saya sampai di Indonesia.

Tetapi suatu saat rambut saya begitu panjang dan tebal, sehingga bagi saya sudah mengganggu dan susah disisir, walaupun Anwar, berujar bahwa rambut saya masih pendek, entah apa ukuran Anwar terhadap panjang dan pendeknya rambut. Maka saya pun bertanya pada saudara saya di masjid, di mana tempat cukur yang pencukurnya laki-laki dan hanya menerima pelanggan laki-laki. Ia bilang sulit menemukannya di Oldenburg. Ketika suatu saat saya bersama Chandra dan Anwar ke Hannover, saya pernah menemukan tempat cukur yang pencukurnya laki-laki dan hanya menerima pelanggan laki-laki. Sempat saya berniat hendak langsung cukur di sana, tetapi Chandra kemudian memberi saran, yang sebenarnya hanya meminta saya untuk berkesimpulan bahwa kami pada saat itu hanya ingin jalan-jalan dan bukan untuk bercukur.

Saudara saya di masjid kemudian memberi tahu bahwa ada salah seorang saudara kami di masjid yang biasanya juga mencukur rambut saudara-saudaranya yang lain, dan ongkos cukurnya lebih murah ketimbang ongkos cukur di salon. Kami pun kemudian bertemu dan bersepakat untuk bercukur padanya. Waktu itu kami bertiga plus berempat sama saudara kami sang pencukur. Kami bertemu di apartemen saudara kami yang akan mencukur kami. Saya tadinya berpikir bahwa kami akan dicukur di dalam apartemennya, tapi saya agak heran ketika saudara kami ini membawa kami ke Keller[1].

Rupanya di Keller itulah kami akan dicukur. Saya melihat besi-besi sepeda yang sudah tidak dipakai, karpet tua yang berdebu, mesin cuci yang sudah tidak dipakai, kertas-kertas yang sedikit berserakan, pokoknya betul-betul gudang, dan gudang mana yang udaranya tidak mengandung debu. Rupanya di sinilah saudara kami ini menaruh peralatan cukurnya. Sebuah kursi, cermin yang bersandar di dinding, cermin kecil yang biasanya dipakai untuk memperlihatkan hasil cukuran kepada orang yang dicukur, sisir, dan gunting. Salah seorang di antara kami dicukur terlebih dahulu karena dia hendak pergi lagi.

Dia duduk di kursi, sedangkan saya dan seorang saudara lainnya duduk di benda apapun yang bisa dijadikan tempat duduk, waktu itu saya duduk di atas gulungan karpet yang tidak terpakai. Saya awalnya heran dengan kondisi tempat cukur saya yang pertama di Jerman ini. Tetapi ketika melihat saudara-saudara saya lainnya tenang-tenang saja, bahkan seakan tidak menghiraukan di mana kami berada, maka saya pun ya ikut irama mereka juga. (bersambung)

Catatan :

[1] Ruang bawah lantai (tanah) biasanya untuk gudang