Hukum Menaikkan Nominal Utang Jangka Panjang

Di dalam kitab-kitab fikih, para ulama membahas ini dengan istilah naik turunnya nilai tukar uang. Dalam hal ini pula para ulama membedakan antara uang yang terbuat dari emas dan perak atau yang sering disebut dengan naqdain dengan uang yang terbuat dari logam lain seperti tembaga atau yang disebut fulus.

Pada jenis uang yang terbuat dari emas dan perak (naqdain), para ulama sepakat orang yang berutang wajib mengembalikan dengan nominal yang sama pada saat meminjam. Tidak boleh ada tambahan dengan mengabaikan naik-turunnya nilai tukar uang tersebut. Maka jika uang yang terbuat dari emas dan perak ini mengalami kenaikan atau penurunan nilai, hal ini tidak berpengaruh apa pun pada transaksi utang-piutang.

 

Adapun uang selain emas dan perak, atau uang yang tidak memiliki nilai intristik, para ulama berbeda-beda pendapat tentang apakah yang wajib dibayar oleh peminjam akan bertambah nomilnya atau tidak. Mayoritas ulama di antaranya pendapat yang populer dari madzhab Maliki, Syafii, serta Hanabilah berpendapat naik turunnya nilai tukar uang selain emas dan perak tidak berpengaruh dalam pelunasan utang.

Uang yang dibayar saat pelunasan harus sama jumlahnya dengan uang pada saat dipinjam tanpa memperhitungkan naik turunnya nilai tukar uang tersebut. Jumhur ulama ini mendasari pendapatnya dengan alasan transaksi utang yang sah adalah jika pengembaliannya dalam bentuk barang yang sejenis dan senilai dengan barang yang diutangkan.

Sehingga barang yang diutangkan itu harus jelas sifat dan ukurannya agar bisa dikembalikan dengan barang yang memiliki sifat dan ukuran yang sama Ketentuan ini berlaku agar transaksi utang piutang tidak memenuhi unsur riba yang diharamkan. Alasan kedua menurut jumhur ulama ini, turunnya nilai mata uang akibat inflasi tidak dianggap sebagai kerugian yang harus ditanggung oleh yang berutang.

Melainkan hal tersebut terjadi secara alami tanpa kuasa dari kedua belah pihak, baik yang berutang maupun yang mengutangkan. Maka orang yang mengutangkan uangnya kepada orang lain harus menanggung risiko jika kemudian waktu uang tersebut mengalami inflasi sehingga nilai tukarnya menjadi turun.

Namun demikian, dalam Majmuah Ar-Rasail Ibnu Abdin menjabarkan tentang pendapat dari Abu Yusuf yang bertolak belakang dari pandangan gurunya yaitu Imam Abu Hanifah. Menurutnya, jika terjadi naik turun pada nilai tukar uang selain emas dan perak, maka yang wajib dibayarkan ketika berutang adalah nilai uang pada saat utang itu dilunasi. Maksudnya, jika nilai uangnya turun (inflasi), maka secara otomatis pelunasannya menjadi lebih besar, begitupun sebaliknya.

Di masa modern ini, para ulama modern seperti Nashiruddin Al-Albani, Sulaiman Asyqar, Musthafa Az-Zarwa, hingga Wahbah Az-Zuhaili juga sejalan dengan pendapat Abu Yusuf. Ulama-ulama ini berpendapat orang yang berutang wajib membayar pelunasannya sesuai dengan nilai fulus pada saat pembayaran dalam akad jual beli atau pada saat pelunasan utang. (rol)