Menjalani Ramadhan Di Masa Penuh Fitnah

Padahal Allah menegaskan bahwa hanya hukum yang bersumber dari Al-Qur’an-lah yang menjamin tegaknya kebenaran dan keadilan, bukan selainnya.

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

”Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’aam 115)

Malah Allah juga dengan tegas menggambarkan karakter umum manusia yang amat zalim lagi amat bodoh. Sehingga alangkah naifnya bila manusia yang berkarakter dasar seperti itu kemudian berani merumuskan daftar legal dan illegal (baca: halal dan haram) untuk diberlakukan ke tengah masyarakat luas. Bagaimana mungkin manusia dapat memastikan apa perkara yang boleh dan tidak boleh diberlakukan di tengah masyarakat yang heterogen sebagai hasil karyanya kemudian menjamin bahwa hal itu akan mendatangkan keadilan dan merupakan kebenaran?

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا

”Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS Al-Ahzab 72)

Ketika Allah Yang Maha Tahu menyatakan bahwa manusia itu amat zalim lagi amat bodoh, bagaimana mungkin kemudian kita bisa menerima bahkan meyakini bahwa produk hukum bikinannya akan mengandung keadilan dan kebenaran…? Itulah rahasianya mengapa Allah hanya menawarkan dua pilihan dalam kaitan dengan urusan hukum ini:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)

Dalam aspek penegakkan sholat tidak sedikit ummat Islam dewasa ini yang dengan ringannya meninggalkan kewajiban sholat. Padahal begitu berat dan menentukannya kedudukan sholat di dalam Islam.

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ بِصَلَاتِهِ فَإِنْ صَلَحَتْ
فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang pertama kali dihisab (dihitung) dari perbuatan seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat; jika shalatnya baik maka dia beruntung dan selamat, dan jika shalatnya rusak maka dia merugi.” (NASAI – 461)

Di lain sisi kalaupun sudah sholat masih sangat sedikit ummat Islam yang menegakkannya di masjid sambil berjamaah. Padahal sahabat Abdullah bin Mas’ud menggambarkan betapa buruknya penilaian para sahabat terhadap muslim yang tidak menghadiri sholat berjamaah di masjid.

وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ
لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ …
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Dan kalau kalian shalat di rumah kalian sebagaimana seseorang yang tidak hadir di masjid, atau rumahnya, berarti telah kalian tinggalkan sunnah nabi kalian, sekiranya kalian tinggalkan sunnah nabi kalian, sungguh kalian akan sesat… Menurut pendapat kami, tidaklah seseorang ketinggalan dari shalat, melainkan dia seorang munafik yang jelas kemunafikannya (munafik tulen).” (MUSLIM – 1046)