Agar Bisnis Tak Mengganggu Ukhuwah

“Ada apa saudaraku? Kau kelihatan lusuh sekali hari ini?” Aku bertanya santun kepada sahabatku ini. Hari itu libur. Matahari belum lagi terik. Suasana cerah. Namun awan mendung menyaput wajah sang sahabat.

Sahabatku ini adalah seorang wirausahawan yang cukup sukses. Ia berinvestasi dan menjadi pemilik beberapa perusahaan dengan berbagai portofolio. Penghasilan bulanannya mencapai puluhan juta. Namun, kesejahteraan tidak nampak pada sosoknya hari ini.

Selanjutnya, setelah menyeruput beberapa teguk teh panas yang masih mengepul, sahabatku bercerita. Salah satu perusahaan tempat ia memimpin sedang dilanda kemelut. Jajaran manajemen di perusahaan tersebut mengajukan keberatan terhadap beberapa kebijakannya, melakukan tuntutan kenaikan gaji, bahkan memaksanya melepas kepemilikannya terhadap perusahaan tersebut.

Ia sendiri bukan orang yang baru dalam urusan friksi-friksi bisnis seperti ini. Namun yang membuatnya sedih adalah sikap teman-temannya tersebut yang tidak sopan bahkan kasar ketika menyampaikan tuntutannya. Padahal perusahaan tadi ia bangun bersama teman-teman, dengan niat awal semangat ukhuwah dan mencarikan lahan pekerjaan bagi sebagian mereka yang memang waktu perusahaan itu didirikan masih belum memiliki mata pencarian tetap.

Aku tercenung. Bukan baru pertama kali ini aku mendengar bisnis berbuah perpecahan. Sekumpulan sahabat yang begitu dekat satu sama lain, membangun kerja sama bisnis dengan niat yang mulia, yaitu mandiri secara ekonomi sekaligus menjalin sinergi. Namun alih-alih mencapai kesejahteraan bersama, justru perpecahanlah yang terjadi.

Pada beberapa kejadian, memang keruwetan yang terjadi bisa diuraikan, dan beberapa kesalahpahaman dapat diluruskan. Ukhuwah yang sempat menegang pun dapat kembali dipulihkan. Namun pada sebagian kejadian yang lain, hubungan baik yang semula terjalin menjadi hancur berkeping-keping. Istilah sahabat berganti menjadi ‘mantan sahabat’. Seluruh kenangan manis ketika bisnis belum terjalin pun tergilas oleh kepentingan-kepentingan pragmatis bisnis.

Aku kemudian mengajukan beberapa pertanyaan detail untuk menggali lebih jauh akar permasalahannya. Ternyata ada kesalahpahaman fatal antara sahabat ku ini dengan anak buahnya. Diimbuhi dengan prilaku komunikasi yang tidak sehat yang selama ini mengalir di antara mereka.

Sahabatku dituntut karyawannya untuk menaikkan gaji sebagaimana yang pernah ia janjikan sebelumnya. Sementara sang sahabat sendiri merasa tidak pernah berjanji untuk menaikkan gaji. Ia hanya pernah mengatakan bahwa ia berkeinginan menaikkan gaji pegawai apabila situasi keuangan sudah memungkinkan.

“Ada perjanjian tertulisnya?” tanyaku.

Sang sahabat menggeleng. Itu semua hanya secara lisan. Aku pun menghela nafas. “Barang kali ini salah satu hikmah kenapa ayat terpanjang di Al-Quran berbicara tentang masalah muamalah. Potensi konflik yang bermula dari masalah ini memang sangat besar.”

Aku masuk ke dalam rumah, mengambil terjemah Al-Quran. Kubuka surat Al-Baqarah ayat 283, dan kemudian membacakan terjemahannya.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.

Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.

Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.

(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Usai membacakan ayat tadi, Aku menghela nafas lagi. Kataku kemudian,

“Tentu ada maksud tertentu ketika Allah memberikan uraian begitu rinci terhadap suatu persoalan. Masalah ini mirip dengan masalah harta warisan. Allah memberikan penjelasan begitu detail, karena memang kedua masalah ini memiliki potensi konflik yang begitu besar.

“Bahkan Allah menyebutkan bahwa perjanjian kerja sama yang tidak dilakukan secara tertulis adalah sejenis dosa.
“Selama ini kita menyangka dosa hanyalah sebatas maksiat-maksiat fisik seperti judi, berzina, bergunjing dan sebagainya. Kita lupa bahwa dalam persoalan muamalat pun kita mungkin berdosa dengan meninggalkan syariatnya. Nah, salah satu syariat tersebut adalah melakukan pencatatan.”

Sang sahabat hanya terdiam menyadari kekeliruan. Sementara Aku pun menyadari bahwa sang sahabat datang kepadaku bukan untuk sekedar mendengarkan vonis kesalahan dirinya.

“Satu pelajaran lain dalam masalah ini adalah, betapapun tajamnya konflik kita dengan saudara kita, hendaknya kita tidak mengeluarkan kata-kata maupun sikap yang berlebihan dan tidak proporsional.

“Luka akibat kata-kata dan sikap dapat berbekas lama sekali di hati.”

“Insya Allah, saya berusaha untuk selalu menjaga sikap saya, ” jawab sang sahabat,

“Justru saya terkejut, tersinggung, dan terutama sedih melihat sikap teman-teman yang begitu kasar.” Sang sahabat menarik nafas panjang, “Padahal mereka saya anggap orang-orang yang mengerti agama, tapi mengapa akhlaq mereka seperti itu?” keluhnya lagi.

Aku tidak menjawab. Aku tentu bersimpati terhadap nasib sahabatku ini. Namun aku juga perlu menjaga keseimbangan informasi, agar berita yang aku terima tidak hanya sepihak. Juga bukan berarti aku tidak percaya terhadap sahabatku tersebut. Pihak lain juga berhak untuk menyampaikan fakta sesuai versi mereka.

“Bersikap baik ketika hati tenang bukanlah suatu keistimewaan. Yang istimewa adalah jika kita mampu tetap bersikap baik ketika emosi memuncak.” Tuturku.

Diskusi masih berlanjut beberapa saat lagi. Satu kisah lagi terjadi, tentang pergumulan anak manusia dalam mengarungi samudera kehidupan. Padahal mereka semua hanya akan kembali kepadaNya. Tidak lebih dan tidak kurang.

Sabruljamil.multiply.com