Hikmah Dibalik Kejamnya 'Summer'

Tanah Ruwais semakin memerah, membara diterjang summer. Berdiri di atas gurunnya tak ubahnya menginjak bara api. Ruwais, wilayah yang tidak jauh dari border Saudi adalah daerah paling barat dari negara Uni Emirat Arab. Letaknya yang tidak jauh dari Rub Alkhali-hamparan gurun pasir terluas di dunia atau lebih dikenal dengan “the empty quarter”, membuat daerah ini akan direjang panas saat summer dan akan dibekap dingin yang luar biasa saat winter.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, summer kali ini pun sudah menyapa sejak memasuki bulan Juni kemaren. Biasanya puncak summer berada dikisaran bulan Agustus. Tapi entah kenapa saat bulan Juli baru bergulir beberapa hari saja, matahari sudah meradang. Memanggang apapun yang ada di padang pasir ini, suhu udara di atas 50 derajat sudah biasa.

Pantaslah orang-orang Bedouin para penghuni Rub Alkhali menjadi salah satu orang-orang terkuat di dunia. Dengan perawakan tinggi besar dan kulit yang hitam legam, mereka mampu hidup dan menikmati kehidupan di padang gurun pasir.

Sedangkan kami para buruh migran dari Asia yang di tanah kampungnya terbiasa dengan curah hujan, hamparan rumput, sawah, ladang dan hutan yang hijau dan belaian lembut angin yang semilir terpaksa harus mengernyitkan dahi dan memicingkan mata menghadapi medan ganas ini.

Tapi dalam kondisi bagaimanapun, buruh migran harus senantiasa melatih diri mengambil hikmah dari setiap keadaan. Saat sedang bekerja di lapangan dengan seorang rekan dari Finlandia, Juha Leinonen namanya. Dia selalu happy dan enjoy saat bekerja. Wajahnya ceria, semangat bekerjanya terus membara dan tidak pernah terdengar keluh kesah darinya meskipun tubuhnya basah kuyup oleh keringat dan wajahnya bak kepiting rebus diterpa panas.

Diet adalah salah satu motivasinya menikmati panasnya matahari summer di gurun. Dia melihat summer sebagai waktu yang tepat untuk membakar tubuh tambunnya. Diakuinya selama summer tahun ini saja berat badannya sudah turun 5 kilogram. Pelajaran berharga saya dapatkan, bagaimana mengambil hikmah dari setiap keadaan terburuk sekalipun.

Tak bisa dipungkiri, panas summer di negeri gulf ini luar biasa, lebih panas dari negara-negara gulf lainnya seperti Qatar, Oman, kuwait dan Saudi Arabia sekalipun. Tak jarang suhu udara mencapai 58 derajat dan humidity di atas 80 persen, yang dalam kondisi seperti itu jangankan aktivitas fisik yang berat, keluar rumah tanpa melakukan hal apapun keringat sudah sampai ke ujung kaki.

Berbeda dengan rekan kerja yang lain bernama Prakash, seorang buruh migran dari India. Dalam medan seganas apapun dia tidak pernah berubah. Semangat kerjanya tidak pernah meleleh saat summer juga tidak pernah membeku saat winter. Sempat berpikir rekan saya yang selalu geleng-geleng kepala saat berbicara ini seorang worka holik alias maniak kerja.

Tidak pernah terdengar kata tidak kuat, capek, lelah dan sejenisnya. Dia selalu mengatakan siap saat disuruh bekerja, meskipun tidak mendapatkan libur yang selayaknya sekalipun. Normalnya kita bekerja empat hari dan libur empat hari, tapi dia kuat bekerja 7 hari dan hanya satu hari libur, dengan tiga hari lainnya dihitung lembur tentunya.

Saat berdialog dengannya saya jadi tahu dia sedang mengejar lembur untuk segera melunasi cicilan Fortunernya impiannya yang mencapai 7000 Dirham atau lebih dari 15 juta perbulannya. Pelajaran kedua saya dapatkan bagaimana sebuah kerja keras harus dilakukan demi mencapai apa yang diimpikan.

Lain halnya dengan Juha dan Prakash. rekan kerja saya yang lainnya adalah Dzulfikar Ali, seorang buruh migran asal Peshawar, Pakistan bagian selatan. Orang-orang Peshawar yang lebih dikenal dengan sebutan orang Pathan termasuk para buruh migran yang terkenal corak Muslimnya.

Tidak jarang kita melihat para muslim Pathan ini menggelar koran di pinggir jalanan panas untuk segera melakukan sholat saat waktunya telah tiba. Begitupun dengan Ali, dia sering terlihat sholat duhur atau ashar di lapangan, padahal dia bisa saja masuk ke ruangan kami, tapi itu tidak dilakukannya.

Buruh migran yang hanya dua tahun sekali pulang ke negaranya ini sebenarnya seorang helper yang bertugas membantu semua pekerjaan fisik yang kita lakukan.

Pekerjaannya berat tapi wajahnya selalu ceria, semangatnya tetap menyala biarpun dari ujung celana seragamnya keringat menetes tanpa henti. Sering saya lihat mulutnya komat-kamit seperti menggerutu, yang dikemudian hari saya tahu dia sedang menghapal alqur`an.

Hari itu summer benar-benar kejam, suhu udara hampir 60 derajat dan humidity mencapai 90 persen. Kami sedang bekerja di ketinggian, panas yang maradang, keringat membanjiri badan dan sedikit sulit bernafas membuat saya hampir menangis.

Bila saya hanya hampir saja, tidak demikian dengan Ali, dia benar-benar menangis. Terlihat dari sudut matanya air mata meleleh, ya itu air mata, bukan keringat.

“Saya takut sama siksa Allah” katanya saat saya tanya dengan hati-hati. "Panas summer saja seperti ini, bagaimana dengan panasnya hari hisab di padang mahsyar kelak". Lanjutnya sambil menyeka peluh dan air matanya.

Subhanallah, inilah kiranya hikmah yang tercecer dibalik kejamnya panas summer tahun ini. Saya diingatkan oleh seorang helper dengan kata-katanya yang sedikit tapi menghujam. Benar adanya, kejamnya summer saat ini sepertinya belum ada artinya bila dibandingkan dengan hari ketika manusia dikumpulkan di yaumil mahsyar kelak.

Sukriyah (terimakasih : Bahasa Urdu/Pakistan) ya akhi. Engkau telah mengingatkan kami betapa mata ini sangat susah untuk menangis karena takut kepada siksa Allah. Air mata kami hanya tumpah ketika diterpa musibah, bencana dan hal-hal bersifat duniawi saja. Ya akhi, Bersamamu kami akan menikmati teriknya summer ini.

“Dua mata yang tidak disentuh oleh api Neraka : mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang siaga karena berjaga-jaga (ketika berjihad) di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi: 1338)

Salam hangat dari Ruwais-Abu Dhabi

Ali Alfarisi