Belajar dari Kehidupan Masa Kecil

Insiden Monas, yang menyisakan keprihatinan, kegeraman, kegamangan, dan kepedihan berbagai pihak belakangan ini, memaksa diri saya untuk berkontemplasi dan mengenang kembali kejadian-kejadian di masa kecil. Di masa kecil itu, saya banyak menghadapi kasus perselisihan antara anak-anak sepermainan. Tidak jarang, perselisihan itu berakhir dengan benturan fisik.

Di kampung saya waktu itu, ada seorang anak yang terkenal sekali bikin ulah dan selalu memancing terjadinya perseteruan atau perkelahian fisik di antara teman-teman. Dalam setiap permainan apapun, di mana ia terlibat di dalamnya, selalu saja berakhir dengan pertengkaran dan adanya anak yang terpaksa harus menangis karena merasa didzolimi dan disakiti.

Sebagai misal saat bermain kartu gambar. Dalam posisi dia di atas angin, ia akan bermain secara wajar. Dan biasanya di akhir permainan ia akan selalu mengejek dan menyindir teman yang dikalahkannya itu sehingga timbul keinginan untuk balas dendam untuk permainan berikutnya. Namun dalam posisi tersudut dan berada dalam kekalahan beruntun sehingga kartu gambar yang dimilikinya menjadi terus berkurang (taruhan permainannya adalah kartu gambar), maka ia akan menempuh segala cara untuk mengembalikan kartu gambar ke tangannya itu. Tentu saja, cara-cara yang dilakukannya adalah cara-cara curang. Jika ketahuan bahwa ia berbuat curang, ia akan terus menyangkalnya sehingga timbul kerusuhan dan akhirnya tumpukan kartu gambar yang ada akan ia sita dan dibawa kabur. Begitulah perilaku buruk yang sering dilakukannya. Tak ayal, keseringan dia dalam bertindak demikian menjadikannya terkenal di seantero kampung bahwa dia adalah anak yang bandel (mbeling) dan suka berbuat rusuh.

Nah, suatu ketika kakak saya pernah terpancing dengan provokasi yang dilakukannya. Tidak segan akhirnya kakak saya mengambil sebilah pisau kemudian mengejar si anak nakal itu. Alasan kakak saya mengambil pisau adalah ingin menakutinya dan memberi pelajaran kepada dirinya. Anak itu harus dikasih pelajaran agar tidak selalu berbuat onar. Mengetahui bahwa kakak saya terlibat ribut-ribut dengan teman mainnya hingga membawa pisau segala, ibu saya menjadi panik. Beliau berusaha mencegah dan menghentikan tindakan kakak saya itu. Beliau menasehati agar jangan terpancing, si anak itu memang sudah wataknya demikian dan tidak ada faedah melayaninya.

Kakak saya pada awalnya memang tidak mau menerima. Masak harus mengalah terus, demikian ia berujar. Namun berkat kebijakan seorang ibu, akhirnya amarah yang meluap di kepala kakak saya bisa menjadi dingin dan mereda sehingga insiden pertikaian fisik yang dikhawatirkan terjadi itu tidak terwujud.

Kejadian ini tidak hanya menimpa kakak saya, tetapi juga menimpa anak-anak yang lain. Dan memang yang pada akhirnya semua kejadian itu bisa diselesaikan karena kebijakan seorang ibu. Beliau memandang masalah itu adalah masalah anak. Dan cara terbaik bagi beliau adalah dengan tetap mengembalikan perhatian anak pada masalah-masalah utama yang lebih relevan untuk diperhatikan dan yang mampu menghibur jiwa mereka. Misalnya dengan memfokuskan anak pada masalah belajar, masalah ngaji, membantu orang tua atau masalah yang bermanfaat lainnya. Tidak jarang, seorang ibu juga memberikan hadiah berupa minuman dan makanan demi melupakan kejadian yang tidak sehat itu.

***

Saya tidak ingin menyederhanakan insiden di Monas atau insiden pergesekan antar ummat lainnya dengan mengidentikkan dengan masalah anak-anak di masa kecil dulu. Saya hanya ingin mengambil hikmah bahwa pada dasarnya perseteruan atau pertengkaran itu selalu menjadi potensi dalam kehidupan manusia dan akan selalu terus ada. Puncak perseteruan akan terjadi manakala ada pihak-pihak yang tidak mampu mengendalikan diri. Baik yang memicu atau yang terpicu emosinya. Maka upaya yang bisa dilakukan adalah agar tidak ada pihak-pihak yang terprovokasi dan bertindak diluar batas yang diperbolehkan.

Peranan seorang ibu (orang tua) yang bijaksana dalam meredakan kasus perselisihan di masa kecil saya dulu, ternyata sangat penting. Tentu saja, seorang ibu itu tidak memiliki kepentingan apapun selain ingin mencurahkan kasih sayang kepada anak-anak dan mendidik mereka agar kelak menjadi anak-anak yang shaleh dan berhasil dalam menjalani kehidupannya.

Dalam kasus lain, masalah justru akan menjadi runyam ketika si ibu justru terpancing menjelekkan ibu dari sang anak bandel itu. Kemudian ibu dari sang bandel kembali melontarkan ejekan dan pada akhirnya ibu-ibu itulah yang bertengkar sengit dan lebih dahsyat. Na’udzubillah.

***

Saat ini kita membutuhkan seorang ibu yang bijaksana, seorang ibu bangsa yang mampu meredakan potensi konflik antara anak-anak bangsa. Tanpa kehadiran ibu bangsa itu, saya merasa miris dan khawatir dengan energi anak-anak bangsa yang terkuras untuk hal yang sia-sia. Tugas anak-anak pada masa kecil saya dulu adalah belajar dan mengaji. Ada baiknya jika anak-anak bangsa sekarang ini juga berfokus pada tugas belajar dan mengaji. Belajar alih teknologi, belajar cara-cara menjadi bangsa yang mandiri, dan belajar menjadi bangsa yang unggul. Di samping itu, mengaji pun tidak boleh berhenti. Mengaji agar mampu bersikap adil, amanah, jujur, dan terpercaya. Dengan landasan akhlakul karimah hasil mengaji itulah, potensi keunggulan bisa diarahkan untuk membuat kemanfaatan bagi ummat dan keluar dari situasi keterpurukan.

Kini saya makin menyadari kenapa saya selalu merasa bahwa masa kecil itu sering menjadi masa yang indah, penuh kenangan, dan sulit untuk dilupakan. Ternyata kehidupan masa kecil itu banyak memberikan pelajaran dan hikmah berharga bagi saya.

Waallahua’lam bishshawaab ([email protected])