Belajar dari Tukang Tambal Ban

Tak terasa sudah pkl.16.00.Setelah shalat ashar, aku dan isteri pamit pulang. Hampir seharian kami bersilaturahim di rumah orang tua isteri di jonggol. Dengan mengucapkan salam dan senyum hangat kami pun pamit untuk pulang kembali ke Jakarta.

Di perjalanan kami naik angkot M.45 jurusan Citra graha prima – Pasar Cileungsi. Kebetulan supir angkotnya pernah membawa kami waktu kami berkunjung sebelumnya ke rumah orang tua isteri. Jadi kami sudah saling kenal. Di angkot kami banyak berincang dengan supir itu. Tentang keluarga, masyarakat dan daerah sekitar. Kadang perbincangan kami membuat kami tertawa kecil.

Lalu di tengah perjalanan hujan turun dengan deras dan disertai angin kencang. Tak terasa sudah 40 menit lebih kami dalam perjalanan. Tinggal beberapa menit lagi kami sampai di Pasar Cileungsi.
Karena di luar masih hujan, pak supir menurunkan kami di tempat yang bisa buat kami berteduh dari hujan dan angin kencang. Kami di turunkan di sebuah gubuk tempat tambal ban.

Setelah kami turun dan berteduh di pelataran tempat tambal ban itu. Terdengar suara orang tua dari dalam gubuk memanggil kami dan mempersilahkan kami untuk berteduh di dalam gubuknya. Orang tua itu bernama Pak Amin, usianya sekitar 70 tahun. Sudah cukup tua namun masih gagah dengan wajah bersahabat. Sambil berteduh aku memesan secangkir kopi sambil menunggu hujan reda. Maklum lah kami lupa bawa payung. Pak Amin pun menemani kami dan mulai membuka pembicaraan dengan bertanya dari mana mau ke mana dan banyak lagi. Dari situlah pembicaraan kami mulai hangat, banyak ilmu dan pengalaman hidup yang kami dapat dari Pak Amin. Beliau bercerita tentang keluarganya, bisnisnya, tujuan hidupnya dan kebahagiaanya.

Pak Amin dulunya adalah seorang pengusaha sepatu yang sukses. Terlihat di sudut-sudut gubuknya banyak sepatu-sepatu yang masih terbungkus karung besar dan plastik yang sudah berdebu karena lama tak di jual. Dahulu Pak Amin punya beberapa toko di Jakarta. Di pasar jatinegara ada 2 toko dan di pasar tanah abang. Beliau merintis usahanya dari kecil dan akhirnya sukses. Sampai bisa menyekolahkan ke 4 anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Tapi karena biaya sewa tempatnya makin mahal. Pak Amin memutuskan untuk memindahkan usahanya ke jonggol. Selain dekat dengan rumah, harga sewa tempatnya cukup murah. Walaupun sewa tokonya murah, tapi kebutuhan sepatu di jonggol sangat kurang. Akhirnya lama-kelamaan usahanya pun bangkrut.

Tapi ada yang menarik dari perjalanan hidup Pak Amin. Usahanya bangkrut ketika semua cita-cita dan kebahagiaannya telah tercapai. Beliau punya banyak harta. Punya rumah di Jakarta, Surabaya dan Jonggol. Juga punya beberapa meter tanah di jakarta. Juga ada Isteri yang setia, shalehah. Serta keempat anaknya yang telah lulus perguruan tinggi dan semuanya sukses. Ada yang jadi pengusaha, ada yang jadi angkatan laut dan lain-lain. Yang pasti semua anak-anaknya sukses dan tidak ada yang kekurangan harta. Bahkan untuk menerima warisan dari Pak Amin pun anak-anaknya menolak. Anaknya pernah berkata kepada Beliau "buat apa warisan dari bapak, lah wong kita sudah hidup berkecukupan kok". Akhirnya semua harta benda Pak Amin ia bagikan ke saudara-saudaranya yang kurang mampu, ke yayasan dan orang-orang yang tidak mampu di sekitarnya. Lalu sisanya ia berikan untuk isterinya.

Dan yang membuat saya terkesan, pak Amin tidak mau tinggal di rumahnya yang mewah, berpakaian mewah dan menghabiskan masa tuanya dengan santai. Ia malah membeli dan tinggal di gubuk reot ukuran 3×3 meter di pinggir jalan di pasar cileungsi ini. Dan berkerja sebagai tukang tambal ban. Sungguh mengherankan orang tua ini. Seharusnya beliau bisa hidup enak dengan semuanya. tapi mengapa masih bersusah payah segala…??!! Ketika aku tanyakan hal itu ke beliau, beliau tersenyum dan menjawab "Buat apa bapak melakukan semua itu, bapak lebih suka hidup seperti ini, inilah hidup bapak, ini lah kebahagiaan bapak, bapak sudah cukup bahagia dan bersyukur dengan apa yang Allah berikan kepada bapak. Lalu apa lagi yang bapak cari?? Orang tinggal nunggu mati aja kok…bapak cuma butuh makan untuk hidup, dengan nambal 1 atau 2 ban motor aja udah cukup buat makan". Subhanallah… sungguh zuhud orang tua ini (gumam ku….)

Pak Amin juga berpesan kepada kami, "Janganlah kamu wariskan harta kepada anak-anakmu, tapi wariskanlah ilmu. Karena bila kamu wariskan harta, kelak anakmu akan bersengketa dan tidak rukun. Bila kamu wariskan ilmu kelak anakmu akan dapat berdiri sendiri". Aku jadi teringat pekataan ‘Ali bin Abu Thalib "Sesugguhnya perbedaan harta dengan ilmu adalah harta engkau yang menjaganya, sedangkan ilmu yang menjagamu, harta bila digunakan akan habis, sedangkan ilmu akan bertambah."

Beliau juga berpesan bahwa "Jasa orang tua kita begitu banyak, dan tidak akan mungkin kita bisa membalasnya, bagaimana kita bisa membalasnya?? Dididiklah anak-anakmu dengan sebaik-baiknya, itulah caranya kamu balas budi orang tuamu". Benar juga apa yang Pak Amin sampaikan, sesungguhnya anak kita adalah amanah dari Allah. Kelak kita akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan anak yang shaleh adalah salah satu amal yang akan selalu mengalir pahalanya sampai hari akhir nanti. Subhanallah… hari ini kami dapat banyak pelajaran dari seorang tua tukang tambal ban.

Tak terasa hujan sudah mulai reda, aku dan isteri izin pamit kepada Pak Amin. Dan berterima kasih telah memberikan pelajaran yang berharga pada kami. Lalu kami pun bergegas naik angkot lagi karena perjalanan kami masih cukup jauh. Dan kami tidak akan melupakan pelajaran yang Allah berikan dari seorang tukang tambal ban.

Pelajaran akan bagaimana bersyukur…. bagaimana bersabar… bagaimana bangkit dari jatuh…. bagaimana mendidik anak dan bagaimana hidup dengan sederhana seperti yang Rasulullah contohkan kepada kita. Juga pelajaran akan pentingnya mempersiapkan diri untuk hari akhir nanti………